Monday, March 24, 2014

T.B.Silalahi, Sosok Guru Para Jenderal Sepanjang Masa

Bagi yang penasaran mengapa SBY menunjuk TB Silalahi menjadi ketua Dewan Pengawas Partai Demokrat yang lagi di puncak kesulitannya, bacalah buku ini: TB SILALAHI (bercerita tentang pengalamannya). Jangankan mengurai benang kusut yang ruwet, Pak Harto yang begitu berkuasa pun berhasil dia “tundukkan”.

Dalam buku yang ditulis dengan gaya bahasa yang sangat menarik, lancar, dan mengalir oleh wartawan senior Atmadji Sumarkidjo ini, berbagai kisah penundukan TB diceritakan: menundukkan Jenderal Rudini, Jenderal Edy Sudradjat, dan banyak jenderal lainnya yang sebenarnya adalah atasannya. TB juga berhasil menundukkan para analis perang, berbagai universitas, para tokoh agama, dan yang hebat TB juga berhasil menundukkan dirinya sendiri. TB berhasil pula menundukkan wilayah-wilayah berat seperti Sulsel dan Papua. TB berhasil merebut hati masyarakat di dua provinsi itu. Sampai-sampai, saat TB diangkat menjadi menteri di Kabinet Pembangunan VI, doa syukur bersama untuknya justru dilakukan jamaah masjid di Enrekang, Sulsel, sesaat setelah TB dilantik. Bahkan, seorang gubernur Papua yang terkenal polos, Ishak Hindom, pernah berani menyampaikan kepada Pak Harto bagaimana kalau Papua merdeka saja: presidennya orang Papua asli dan perdana menterinya T.B. Silalahi.

TB memang brilian. Dia selalu lulus terbaik untuk jenis pendidikan apa saja yang pernah dijalaninya selama menjadi tentara. Mulai AMN sampai kursus-kursus yang begitu banyaknya. Termasuk saat mengikuti Sekolah Komando dan Lemhanas. Bahkan, ketika Seslapa, TB lulus dengan cum laude. Hanya sekali dia menjadi juara dua. Yakni, sewaktu menjalani tes masuk Seskoad (Sekolah Komando Angkatan Darat). Itu pun akhirnya dia juga menjadi juara satu karena juara pertamanya rupanya ada masalah, lalu dicoret. Kalau ada yang dia sesalkan adalah mengapa ditakdirkan tidak pernah mendapat kesempatan bersekolah di Amerika Serikat. Ini gara-gara hubungan Indonesia-AS memburuk tahun itu yang diingat melalui ucapan Presiden Soekarno: go to hell with your aid. Tapi, TB berusaha menundukkan dirinya sendiri: Dia pinjam semua buku yang dibawa pulang oleh perwira-perwira yang lebih dulu berkesempatan bersekolah militer di AS. Dia lalap semua buku itu. Tanpa bersekolah ke AS pun, penguasaan ilmunya bisa lebih unggul.

TB memang hobi membaca. Sebab, TB menyenangi tugas mengajar. Itu sempat membuat komandannya kaget ketika dalam mengisi formulir penempatan, TB memilih mengajar. Lulusan terbaik setiap jenjang pendidikan selalu mendapat prioritas untuk memilih ditempatkan di mana. TB memilih mengajar, yang umumnya dijauhi perwira lain. Padahal, dia perwira kavaleri yang tangguh. Sangat menonjol di berbagai operasi, baik di Garut, Malangbong, Tasikmalaya (operasi penumpasan Kartosuwirjo), maupun operasi di Sulsel (penumpasan Kahar Muzakkar). Menarik membaca alasan TB: “Saya sudah cukup di pasukan, lama-lama di pasukan bisa bodoh!” Maka, berangkatlah TB ke Pusat Pendidikan Kavaleri di Purabaya. Satu daerah pegunungan kapur di Jabar yang jauh dari Bandung. Sepanjang perjalanan ke kampus itu, TB harus melewati debu kapur sehingga sang guru sering tiba di kampus sebagai kera putih Hanoman.

Sebagai guru, TB tidak ada tandingannya. TB selalu terpilih sebagai pengajar terfavorit di setiap pemilihan pengajar oleh para siswanya. Tidak heran bila TB belakangan juga dikenal sebagai gurunya para jenderal. Tidak ada jenderal yang pada masa pendidikannya tidak pernah diajar dengan menarik oleh TB. Setidaknya, gelar itu diberikan Jenderal Wiranto. Saat itu, Wiranto menjadi ajudan Presiden Soeharto. Ketika Pak Harto mulai tertarik dengan TB dan menanyakan siapa itu TB, Wiranto dengan singkat mengatakan bahwa TB itu gurunya para jenderal. Wiranto-lah yang selalu menjadi pintu bagi TB untuk bertemu Pak Harto. Belakangan, ketika hubungan TB dan Pak Harto sudah istimewa, justru Wiranto yang minta bantuan TB untuk memperlancar tugasnya sebagai ajudan presiden. Terutama kalau suasana hati Pak Harto lagi mendung. TB-lah yang mampu mencairkan pikiran Pak Harto.

Itu ada ceritanya. Sewaktu TB harus menghadap Pak Harto menyampaikan masalah yang sangat penting, Wiranto mencegahnya. Pak Harto lagi bad-mood. Tapi, TB ngotot karena masalahnya memang penting. Di ruang kerja Pak Harto itu, TB mencari akal bagaimana membuat Pak Harto tidak lagi murung. Berceritalah TB mengenai kisah kehebatan Pak Harto yang pernah dia dapat dari para jenderal yang pernah mendengarnya. Yakni, mengenai pertempuran Ambarawa. Waktu itu, Pak Harto diperintah Jenderal Gatot Subroto untuk mempertahankan sebuah bukit yang penting. Pak Harto dan pasukannya tidak boleh meninggalkan bukit itu sama sekali. Ketika malam, Belanda membombardir bukit itu habis-habisan, Jenderal Gatot Subroto menangis. Dia mengira Pak Harto pasti sudah tewas. Demikian juga pasukannya. Pagi itu, Gatot Subroto mengerahkan pasukan menyisir bukit tersebut untuk mencari mayat Pak Harto. Ternyata, Pak Harto masih hidup. Ternyata, Pak Harto, dengan perhitungannya sendiri, tidak menaati perintah atasannya itu. Pak Harto, sebelum malam tiba, sudah meninggalkan bukit tersebut.

Senjata TB itu sangat ampuh. Baru sebentar TB berkisah, Pak Harto sudah menimpali. Bahkan, Pak Harto-lah yang kemudian meneruskan kisah itu dengan semangatnya. Wiranto yang mendengarkan dari ruang sebelah merasa gembira. Maka, setiap melihat Pak Harto bad mood, Wiranto minta agar TB berpura-pura punya urusan dengan Pak Harto. Hebatnya, TB menyadari, menjadi anak emas itu banyak tidak enaknya. Dan dia belajar banyak dari situ. Waktu Rudini diangkat menjadi KSAD, TB yang masih paban diminta menjadi orang nomor dua untuk menghadap. Padahal, mestinya para asisten dulu. Itu menimbulkan kecemburuan yang merugikan dirinya. Apalagi ketika akhirnya tahu TB-lah yang diminta membuatkan konsep tujuh perintah harian KSAD yang baru. TB juga pernah menjadi anak emas Jenderal M. Jusuf. Mulanya dari kunjungan Menhankam/Pangab yang putera asli Makassar itu ke Makassar setelah meredanya kerusuhan anti-Tionghoa di sana. Jenderal Jusuf begitu senangnya kerusuhan tersebut berhasil diselesaikan dengan cepat. Karena itu, saat itu juga, di tempat rapat itu juga, Jenderal Jusuf minta pangkat Pangdam Hasanuddin Brigjen Soegiarto dinaikkan menjadi mayor jenderal.

Setelah itu, sang Pangdam dengan rendah hati mengemukakan bahwa kerusuhan tersebut cepat teratasi berkat peran asisten operasinya, Letkol TB Silalahi. Kebetulan, pangkat TB itu sudah agak lama tersendat. Mendengar itu, Jenderal Jusuf langsung mengeluarkan perintah yang mengagetkan: Ya sudah, naikkan pangkat Silalahi hari ini juga! KSAD saat itu, Letjen Poniman, menjelaskan kenaikan pangkat tidak bisa dilakukan mendadak di tempat seperti itu. Setidaknya, harus dibuatkan dulu surat keputusannya di Jakarta. Harus dicarikan dulu nomor surat keputusan yang akan dibuat. Apa jawaban Jenderal Jusuf? “Tidak usahlah kau cari-cari nomornya. Kalau perlu, pakai nomor mobil saya,” perintah sang Jenderal. Tentu tidak ada yang berani membantah perintah panglima ABRI. Tapi, ada kesulitan teknis untuk menaikkan pangkat TB saat itu juga. Dari mana bisa mendapatkan tanda pangkat kolonel di kota seperti Makassar yang akan disematkan di pundak TB. Sudah diusahakan dicarikan di toko-toko dan di pasar loak, tapi tidak ditemukan. Akhirnya, memang bisa didapat. Tapi, tanda pangkat itu sudah sangat kusam. Cepat-cepat tanda pangkat itu di-brasso untuk disematkan di pundak TB.

Kelak, peristiwa tersebut menyulitkan karir TB. Terutama setelah panglima ABRI-nya diganti. TB dikira “geng”-nya Jenderal Jusuf. Karirnya terhenti sangat-sangat lama dan penempatannya pun tidak di pusat kekuasaan. TB sempat frustrasi lagi. Sampai-sampai, saat berjalan pagi dengan istrinya di kompleks Seskoad Bandung, TB mengambil sikap yang dianggap istrinya sangat aneh. Ketika melewati patung Jenderal Gatot Subroto, TB berhenti: menghadap patung, memberi hormat militer dengan sikap sempurna, dan meneriakkan kata-kata berikut ini:
“Pak Gatot, saya ini stres berat. Saya sudah mencoba berbuat yang terbaik untuk Angkatan Darat. Tapi, nasib saya terkatung-katung. Mohon petunjuk?!”
“Kamu ini sudah miring,” kata istrinya. “Lama-lama kamu bisa gila!” tambah sang istri.
Sangat menarik mengetahui bagaimana TB berhasil menundukkan dirinya sendiri dari rasa frustrasi. Lalu, berhasil bangkit, mencapai pangkat letnan jenderal, dan bahkan menjadi menteri. Sekarang ini, pada usianya yang sudah 75 tahun tapi masih gesit seperti saat berumur 60 tahun, guru segala jenderal ini diminta kembali ke medan laga. Kali ini ke arena politik kekuasaan. Tentu kali ini TB tidak membawa tank kavaleri.

Si Anak Hadal dari Balige

Tiopan Bernhard Silalahi dilahirkan di Pematang Siantar pada tanggal 17 April 1938, di tengah-tengah keluarga yang berkecukupan pada saat itu karena ayahnya adalah seorang supir pibadi seorang Belanda yang menjabat sebagai kepala perkebunan di daerah Sidamanik dan Tiga Balata. Pada umur tiga tahun, keluarga TB Silalahi pindah ke kampung halaman mereka, di Pagarbatu, Balige. Sebagai orang yang berkecukupan, ayahnya mampu membeli bis yang digunakan untuk mencari nafkah. Akan tetapi kebahagiaan itu memudar seiring dengan kedatangan penjajahan Jepang. Di samping itu ayahanda TB jatuh sakit yang akhirnya meninggal dunia pada saat dia berumur 5 tahun.  Selama ayahanda dalam perawatan sampai meninggal, TB Silalahi harus hidup dalam serba kekurangan karena seluruh harta terpaksa harus dijual untuk membiayai pengobatan ayahanda tercinta. Sang Ibunda yang sedang mengandung adik bungsunya terpaksa menjadi buruh pemecah batu bagi perintah Jepang yang sedang membuka jalan.

Penderitaan TB Silalahi kecil berlanjut hingga masuk ke sekolah rakyat yang membuatnya berbeda dengan anak-anak yang lain pada saat itu. Dia terpaksa harus menahan lapar saat menggembalakan kerbau dan memakan harimonting dan serangga untuk sekedar mengganjal perut, tetapi seiring dengan menyerahnya Jepang terhadap Sekutu dan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, kehidupan keluarga TB Silalahi kecil sedikit membaik karena ibunda mempunyai kesempatan berdagang beras ke Sumatera Timur khususnya ke Medan, dan sebaliknya membawa barang-barang kelontong dari Medan untuk dijual di Balige. Namun, keluarga TB Silalahi kecil kembali mengalami penderitaan ketika Ibunda dirampok oleh pasukan liar di Batu Lubang, seluruh barang dagangannya dirampas berikut uang yang merupakan modal usaha.

Kondisi ini memaksa TB Silalahi kecil untuk berjuang bersama orangtua dengan membantu berjualan di pasar setiap hari Jumat. Karena tidak mau merepotkan sang ibu, TB Silalahi kecil juga bekerja sebagai penjual es cendol, mencuci mobil, menjadi kacung tenis, mencap kertas rokok untuk sekedar membiayai sekolah dan hidup mandiri, hal itu berlanjut hingga beliau duduk di bangku SMA yang membentuknya menjadi manusia yang berjiwa besar dan mandiri. TB Silalahi kecil juga dikenal sebagai anak yang hadal atau lebih tepatnya adalah anak yang hiperaktif, berani, dan selalu tampil sebagai pemimpin, beliau tidak takut memasuki daerah-daerah yang diyakini sangat angker oleh penduduk kampungnya. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, TB. Silalahi berhasil lulus seleksi dan akhirnya mengecap perkuliahan di ITB jurusan Arsitektur. Ia masuk ITB karena terinspirasi oleh Presiden Soekarno yang juga alumni Teknik Sipil ITB. Tetapi tersendatnya biaya kuliah karena sulitnya kehidupan di kampung halaman memaksa TB. Silalahi untuk mengubur impiannya menjadi seorang arsitek, meski hingga saat ini jiwa arsiteknya selalu mencul dengan ide-ide yang luar biasa.

Akhirnya di tengah-tengah kesulitan biaya kuliah, Akademi Militer Nasional (AMN), sekarang AKMIL, di Magelang membuka kesempatan untuk pemuda-pemuda Indonesia untuk mengikuti pendidikan militer, dan TB. Silalahi berhasil lolos seleksi dan menjadi Taruna Militer selama 3 tahun (1958-1961). Sesungguhnya menjadi prajurit adalah cita-citanya sejak kecil tetapi pihak keluarga tidak pernah merestui cita-cita tersebut. Setelah menjalani pendidikan di AMN, penugasan demi penugasan dijalani TB. Silalahi.  Diawali sebagai Danton Yonkav 4 Siliwangi dalam operasi Kamdagri di Jawa Barat (1962), Wadanki dalam operasi Kamdagri di Sulawesi Selatan (1963-1965) bersamaan dengan operasi Dwikora. Danyonkav 8 Tank Kostrad (1972), ke Timur Tengah sebagai pasukan PBB pada perang Oktober 1973 antara Israel dan Mesir sebagai Camp Commandant UNEF Middle East di Kairo. Dosen Sesko AD (1974), Asops Kasdam XVI Hasanuddin di Ujung Pandang (1978), Kasdam IV Diponegoro (1984) dan Asisten Perencanaan dan Anggaran KASAD (1986) dengan pangkat Mayor Jenderal TNI.


Sejalan dengan penugasannya, TB Silalahi memanfaatkan waktunya dengan mengikuti pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung sampai sarjana muda (1968) dan mendapatkan S1 pada Sekolah tinggi Hukum Militer dengan predikat Cumlaude (1995). Atas prestasinya dalam bidang pemerintahan dan sosial, ia beroleh gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gregorio Araneta, 8 agustus 1996 di Manila, Filipina. Karir militernya dilanjutkan dengan tugas karya sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan dan Energi (1988). Pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto (1993), Kabinet pembangunan VI, menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Jenderal TNI. Tahun 2004, Presiden SBY mengangkat TB Silalahi menjadi penasehat presiden yang kemudian pada tahun 2006 menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah. Pada 2007 diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dalam bidang pertahanan dan keamanan



sumber : http://www.tabloidgabe.com/2013/05/tb-silalahi-guru-para-jenderal.html

No comments:

Post a Comment