Thursday, May 15, 2014

Mimpi Tentang Indonesia

I have a dream that one day on the red hills of Georgia the sons of former slaves and the sons of former slaves owner will be able to sit down together at the table of brotherhood.
[Saya mempunyai mimpi, bahwa suatu hari di bukit yang memerah di Georgia, anak-anak dari bekas budak dan anak-anak dari bekas pemilik budak akan duduk bersama di meja persaudaraan].
“I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the colour of their skin but by the content of their character. I have a dream today!”
[Saya mempunyai mimpi bahwa keempat anak saya yang kecil suatu hari akan hidup di sebuah negara di mana mereka tidak dinilai dari warna kulitnya, melainkan oleh isi karakter mereka.]
Kutipan di atas adalah pidato yang diucapkan oleh Dr Martin Luther King Jr, seorang tokoh hak asasi manusia, pada 28 Agustus 1963. Pada waktu itu Dr. King berpidato di hadapan sekitar 250 ribu orang kulit hitam yang berkumpul di depan monumen Abraham Lincoln di Kota Washington DC, Amerika Serikat. Ketika itu pula, hanya setengah abad lalu, masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat masih menjadi warga kelas dua. Di bagian selatan negara itu warga kulit hitam tidak boleh naik bus yang dinaiki oleh kulit putih, tidak boleh mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah kulit putih dan tidak boleh masuk restoran khusus untuk kulit putih.
Sungguh mengherankan, negara besar yang sering menyebut dirinya sebagai kampiun demokrasi masih memperlakukan warganegaranya yang kebetulan berkulit berbeda, secara tidak setara. Sungguh membangggakan pula pada tahun 1963 itu Indonesia tidak pernah memperlakukan warganya, dari asal mana saja, sebagai warga kasta rendahan.
Pidato Dr. King tersebut adalah salah satu pidato yang paling banyak dikutip sebagai salah satu speech that change the world. Dan ketika di tahun 2009 seorang senator berkulit hitam dan pernah menjadi warga Jakarta selama beberapa tahun bernama Barrack Obama terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat pertama, yang bukan berkulit putih, semua teringat akan pidato inspiratif Dr. Martin Luther King di atas. Ia dan mungkin puluhan juta warga Amerika berkulit putih maupun yang berkulit warna lain tidak mengira bahwa impian Dr. King terwujud juga.
Impian telah menjadi kenyataan! Bila setengah abad lalu banyak kaum pesimis mengatakan bahwa pidato Dr. Martin Luther King itu hanya mimpi di tengah hari bolong, kini semua pihak mengakui mimpinya tepat dikatakan sebagai visi yang mulia.
***
Pada tanggal 9 April 2014 lalu, rakyat Indonesia telah melakukan Pemilihan Umum untuk calon anggota legislatif periode 2014-2019. Dan dari banyak lembaga yang melakukan Quick Count atau hitung cepat Pemilu, meski angka persentasenya berbeda-beda namun hasilnya rata-rata sama yaitu menempatkan PDIP sebagai peraih suara terbanyak dengan hampir mencapai 20%, lalu disusul oleh Partai Golkar yang di kisaran 14-15%, dan kemudian di urutan ketiga dan ke-empat berturut-turut adalah Partai Gerindra dan Partai Demokrat.
Kalau kita mau melihat dari survei tahun lalu yang dilakukan oleh Prof. William Liddle mengenai persepsi masyarakat akan calon pemimpin yang paling diinginkan adalah bahwa 54% menginginkan pemimpin yang jujur, 24% menginginkan pemimpin yang mencintai rakyat, bari 12%-nya menginginkan pemimpin yang memiliki kapabilitas, dan 7% lainnya menginginkan pemimpin yang tegas. Sejalan dengan itu, Litbang Kompas pun melakukan survei calon pemimpin masa depan yang diinginkan rakyat, dan hasilnya 39% menginginkan pemimpin yang komit terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, dan 34% menginginkan pemimpin yang bisa memperjuangkan kedaulatan ekonomi Indonesia.
Jika melihat perolehan suara hitung cepat dari PDIP yang menempatkan partai ini berada di peringkat pertama, apakah ini karena fenomena gaya kepemimpinan Jokowi yang sebelumnya sebagai Walikota Solo selama 2 periode dan diteruskan sebagai Gubernur Jakarta selama 1,5 tahun ini? Dan hasil survei Bill Liddle dan Kompas di atas merupakan gambaran tentang kepemimpinan Jokowi? Ya itu kita tidak tau. Itu persepsi publik.
Namun yang terpenting adalah bahwa saat ini bangsa Indonesia ada di titik yang krusial untuk bisa mewujudkan apa yang telah diprediksi oleh banyak pihak di dunia. McKinsey Global Institute, lembaga riset ekonomi international meramalkan bahwa Indonesia akan menjadi 7 besar ekonomi dunia dalam 20 tahun ke depan.
Dengan bonus demografi yang kita miliki, saat jumlah penduduk usia produktif jauh lebih banyak daripada penduduk usia ketergantungan, dan meningkatnya kelas menengah baru yang memiliki pendidikan yang baik. Jepang pada era 1950-an mulai mengalami bonus demografi, dan 20 tahun kemudian kita ketahui bahwa Jepang menjadi kekuatan ekonomi ketiga dunia. Dan Indonesia saat ini berada di 16 besar ekonomi dunia dan memiliki potensi yang sama dengan Jepang untuk bisa menjadi peringkat ke-7 negara dengan perekonomian yang bagus.
Prasyaratnya adalah pembangunan infrastruktur yaitu listrik, jalan, jembatan, akses, transportasi antar pulau, dan tentu saja pendidikan yang semakin baik sampai ke pelosok-pelosok desa guna menghasilkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Pemerataan pendidikan itu sangat penting. Pendidikan itu, dalam bidang teknologi terutama, jangan hanya ada di Jawa saja namun harus dibangun juga di luar Jawa. Disesuaikan dengan daerahnya, misalnya di Papua di mana terdapat PT Freeport, mengapa di situ tidak ada satu institut yang khusus mengenai teknologi pertambangan. Spesifik pertambangan dan gas. Itu akan memberikan dampak bagus juga untuk Indonesia.
Kita harapkan bersama melalui Pemilihan Umum calon anggota legislatif beberapa hari lalu, yang telah berlangsung secara aman dan damai, para calon wakil rakyat yang terpilih nanti dan juga siapapun yang akan maju sebagai Calon Presiden Republik nantinya akan bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik dari sekarang.
Saya, sebagaimana banyak orang Indonesia lain juga punya mimpi.
Saya mempunyai mimpi bahwa suatu hari nanti kita semua menghargai dan menghormati sesama warga bukan karena punya latar belakang etnis yang serupa, bukan karena berasal dari kampung halaman yang sama, bukan juga karena suatu iman dan satu agama, melainkan dihargai dan dihormati karena ia orang Indonesia yang mampu berjuang untuk mengangkat harkat dan hidup manusia-manusia Indonesia lainnya.
Saya mempunyai mimpi, bahwa suatu hari dimasa dekat, kita semua akan ikhlas memilih seorang pemimpin bukan karena ia lahir dari suku mayoritas terbesar, bukan karena ia berkulit dan berwajah sama dengan dirinya, dan bukan karena ia satu imam, kepercayaan atau agama dengannya; melainkan karena ia seorang pemimpin yang mampu serta bisa membawa bangsa dan negara ini ke arah yang lebih baik, ke arah Indonesia Emas yang gemilang.
Saya juga yakin bahwa mimpi yang saya kemukakan di atas bukan hanya pribadi seorang Luhut Binsar Pandjaitan di siang hari bolong, tetapi visi jutaan masyarakat Indonesia yang menginginkan kehidupan yang lebih baik. Masyarakat Indonesia yang dipaterikan dalam Mukadimah UUD 1945 yang mampu menuju masyarakat adil dan makmur.
Bukan Semata Merebut Kekuasaan
Dalam beberapa hari ke depan bangsa Indonesia akan melakukan Pemilihan Umum 2014 yang akan memilih calon anggota legislatif. Semua kontestan peserta Pemilu telah sibuk berkampanye dengan segala kekuatan dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing kontestan. Namun sesungguhnya Pemilu atau proses politik tak hanya sekedar soal menang-kalahnya para kontestan peserta Pemilu.
Kalau kita mau melihat bahwa situasi ekonomi Indonesia pada saat ini (terutama di bidang fiskal) berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Alokasi dana dalam jumlah sangat besar harus dikeluarkan untuk subsidi bahan bakar akibat kenaikan harga minyak dunia dan semakin tingginya konsumsi minyak indonesia, ditambah lagi dengan depresiasi nilai rupiah. Pada tahun 2014 ini pemerintah menganggarkan Rp 282 trilyun subsidi energi, yang terdiri dari Rp 210 trilyun subsidi bbm dan Rp 71 trilyun subsidi listrik.
Mengingat bahwa Indonesia adalah net importer untuk minyak, maka subsidi tersebut juga akan menambah tekanan terhadap defisit neraca berjalan Indonesia dan cadangan devisa. Banyak lembaga internasional seperti IMF dan World Bank, dan lembaga-lembaga riset lainnya yang memprediksikan bahwa subsidi energi pada tahun ini akan melebihi anggaran yang sudah ditetapkan, terutama karena perbedaan asumsi kurs US dolar terhadap rupiah yang ditetapkan di APBN sebesar Rp 10.500/USD sementara nilai kurs rata-rata saat ini adalah sebesar Rp 11.400-11.500/USD. Diperkirakan angka subsidi itu akan bertambah sekitar Rp 42 triliun lagi akibat pelemahan nilai tukar rupiah dan semakin meningkatnya pemakaian bahan bakar dari perkiraan semula.
Kenaikan signifikan itu meningkatkan defisit berjalan menjadi 2,38 persen dari Gross Domestic Product (GDP). Jauh diatas yang diperkirakan pemerintah pada saat penyusunan APBN yang menargetkannya pada angka 1,7 persen. Tanpa segera mengambil langkah-langkah yang signifikan pada tahun ini, World Bank memperkirakan defisit itu akan membengkak menjadi Rp 56 triliun atau 2,6 persen dari GDP.
Seperti diungkapkan oleh menteri keuangan Chatib Basri pada akhir tahun lalu, bahwa risiko fiskal baru dapat diatasi dengan pembenahan subsidi bahan bakar minyak secara berkelanjutan. Saat itu ia menyarankan untuk menaikkan harga bahan bakar premium sebesar 44 persen guna mengamankan dana pengeluaran sebesar Rp 40 triliun, dan pembuatan skema pengurangan subsidi sampai tingkat tertentu. Situasi lebih jelek lagi akan terjadi bila nilai rupiah terhadap dolar amerika mencapai Rp 11.500 (nilai tukar pada penyusunan APBN sebesar Rp 10.500), dan kuota konsumsi bahan bakar yang diperkirakan saat ini sudah mencapai angka 52 juta kiloliter (pada saat penyusunan APBN hanya 48 juta kiloliter). Keadaan itu akan mengerus defisit keuangan sampai dengan 3 persen dari GDP, dan akan berdampak luar biasa terhadap mengecilnya angka pertumbuhan, dan membengkaknya jumlah pengangguran.

Itulah situasi ekonomi yang harus dihadapi oleh Pak SBY pada akhir priode pemerintahannya dan yang harus dihadapi oleh presiden terpilih mendatang selama priode pemerintahannya. Sebagai risiko dari sistem pemerintahan presidensiil, presiden mendatang tidak akan mungkin dapat berkontribusi maksimal untuk memecahkan masalah-masalah bangsa yang sangat kompleks, termasuk diantaranya adalah masalah ekonomi/fiskal yang sangat pelik itu, tanpa dukungan kekuatan mayoritas di DPR.
Menimbang pentingnya dukungan mayoritas di DPR, saya pribadi dan sejumlah purnawirawan TNI lainnya serta beberapa teman dan pengamat yang peduli, bersama ini mendorong semua partai politik yang akan mencalonkan presiden dan wakil presiden pada pemilu presiden tahun ini, seyogyanya tidak hanya berorientasi pada kecukupan presidential threshold semata. Tetapi juga harus berfikir untuk bekerja sama dengan partai lain agar pemerintahan mendatang dapat memperoleh dukungan suara mayoritas di DPR.
Kelompok kerja sama yang disarankan tidak usah terlalu besar, cukup dengan akumulasi suara di DPR melebihi 50 persen. Kelompok kerja sama partai yang terlalu besar akan mudah goyah, dan juga akan berdampak negatif membungkam gaung suara dari kelompok partai yang berbeda pendapat. Padahal gaung suara dari kelompok partai yang berbeda pendapat sangat dibutuhkan untuk mengontrol pemerintah agar terhindar dari sikap otoriter. Di antara partai partai yang bekerja sama itu, hendaknya ada partai politik yang beraliran Islam, guna memberi warna religius pada setiap keputusan yang diambil.
Undang-undang Dasar 1945, juga dilahirkan melalui debat, diskusi, permusyawaratan dan kesepakatan-kesepakatan yang diambil oleh dua kelompok besar politisi Indonesia saat itu, yaitu kelompok kebangsaan dan kelompok Islam. Meskipun bagian terbesar dari kelompok kebangsaan terdiri dari politisi muslim yang taat, seperti Soekarno dan Hatta, mereka tetap memerlukan pendapat-pendapat dari kelompok Islam yang juga meskipun berwawasan kebangsaan yang tinggi, seperti K.H. Wachid Hasjim, H. Agus Salim, dll. tetapi lebih memfokuskan sudut pandang pada suara umat Islam sebagai umat terbesar dari bangsa Indonesia.
Kepada Presiden SBY yang akan segera mengakhiri periode kedua jabatannya, kami sarankan untuk berkenan menggunakan sisa waktu pemerintahannya untuk memulai langkah-langkah signifikan, mengatasi peliknya situasi fiskal Indonesia saat ini. Dalam sisa periode yang relatif pendek ini, Pak SBY tidak mungkin dapat berbuat banyak untuk memperbaiki keadaan, tetapi langkah-langkah awal pemecahan signifikan yang Pak SBY ambil dalam sisa waktu pemerintahan beliau, akan tercatat sebagai salah satu legacy yang ditinggalkan buat masa depan bangsa ini. Bila tidak, terlepas dari berbagai hal baik yang telah beliau buat, sejarah tetap mencatat bahwa pada akhir pemerintahan panjang Pak SBY, beliau meninggalkan catatan ekonomi, khususnya fiskal, yang sangat buruk. Dengan defisit keuangan mencapai angka 2.38 persen dari GDP, tanpa upaya signifikan untuk pemecahannya.

sumber : http://www.luhutpandjaitan.com/

No comments:

Post a Comment