Friday, May 9, 2014

Membangun Pendidikan Berkualitas

Apabila kita melihat data demografi Indonesia yang menunjukkan adanya Bonus Demografi yaitu bahwa sebesar 70% dari penduduk Indonesia itu merupakan penduduk di usia produktif. Ini berarti potensi anak-anak muda yang bisa menempuh jenjang pendidikan berkualitas itu sangat besar jumlahnya. Bonus demografi ini akan berlaku hingga hampir 50 tahun ke depan. Amerika tidak punya itu. Jepang tidak punya itu. Eropa tidak punya itu. Di negara-negara tersebut sudah lebih banyak orang yang berusia lanjutnya dibanding penduduk di usia produktif.
McKinsey Global Institute menyebutkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia akan meningkat menjadi 7 besar ekonomi dunia dalam 20 tahun ke depan. Dengan penduduk di usia produktif yang begitu besar maka Indonesia berpotensi meningkatkan produktifitasnya dalam menunjang perekonomian kita. Data mengenai bonus demografi ini menjadi penting dan strategis. Karena itu pendidikan merupakan masalah yang sangat serius buat bangsa ini.
Saat ini pemerintah sudah mengalokasikan 20% dari APBN untuk biaya pendidikan. Maka kalau tahun ini APBN kita sebesar Rp 2.200 triliun, itu equivalent dengan Rp 440 triliun.
Persoalannya sekarang ini, pendidikan-pedidikan dalam bidang teknologi itu masih kurang. Padahal dalam negara yang berkembang seperti ini, pendidikan di bidang teknologi itu sangat dibutuhkan. Misalnya dalam bidang IT, construction,  energyhi-tech, itu hampir tidak ada. Kalau kita lihat sekarang, pendidikan-pendidikan teknologi itu kebanyakan di pulau Jawa, seperti di UI, ITB, di ITS, 10 November, dsb. Kalau di luar Jawa yang berkualitas seperti itu tidak ada, padahal dengan anggaran belanja 20% dari APBN, itu kita bisa membangun ‘mini ITB’, ‘mini ITS’ di berbagai daerah di luar Pulau Jawa.
Pengetahuan teknologi itu sangat penting, misalkan saja untuk bidang pertambangan, contoh saja Freeport di Timika, pertambangan gas di Tangguh, atau juga pertambangan minyak di Kutai Kertanegara. Jadi kalau ada institut-institut teknologi yang khusus mengenai pertambangan di wilayah-wilayah yang memang kaya dengan sumber daya alamnya dengan kualitas seperti ITB mini, maka hal itu akan berdampak luas.
Dengan jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar, lebih dari 250 juta jiwa, kalau 0,5% saja dari penduduk Indonesia pandai, itu ekuivalen dengan 12,5 juta. Dan kalau 12,5 juta orang ini 10% saja itu 1,2 juta orang kita kasih pendidikan berkualitas kelas dunia atau kelas regional atau nasional, dalam 10 hingga 20 tahun ke depan institute-institut teknologi di berbagai daerah itu akan melahirkan orang-orang pintar yang akan membangun daerah dan negeri Indonesia ini. Jangan kita tergantung terus dengan teknologi dari luar negeri.
Riset, itu semestinya ada di antara gabungan pekerjaan pemerintah, swasta (industri), dan universitas. Ketiganya harus bersinergi menghasilkan riset-riset yang berkualitas demi memajukan negara ini. Itu sebabnya saya berpikir, mungkin Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) itu semestinya ada di bawah Kementerian Riset dan Teknologi, bukan berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional. Sehingga Kementerian Ristek itu membawahi Pendidikan Tinggi nasional. Dengan begitu mungkin akan mendorong riset kita lebih baik lagi, dan juga mendorong universitas-universitas kita itu lebih bagus. Sehingga Kemendiknas itu hanya fokus mengurusi jenjang SD, SMP, hingga SMA saja.
Untuk pendidikan di jenjang SD, SMP, dan SMA, kita tidak bisa bicara sekadar sudah ada, tapi harus bisa bicara mengenai kualitasnya. Kualitas di sini selain masalah sarana dan pra-sarana juga mengenai kualitas para pengajarnya. Saat ini hanya 51% guru yang bergelar sarjana S1, sisanya belum.
Guru lebih banyak memberikan pengajaran satu arah dan setumpuk pekerjaan rumah (PR) serta kurang memberikan kesempatan siswa untuk aktif. Kurikulum yang bagus juga tidak bisa diimplementasikan jika gurunya masih bermasalah. Ini soal the man behind the gun. Padahal guru adalah ujung tombak kualitas pendidikan, namun sayang masih terdapat mutu guru yang rendah di setiap jenjang pendidikan.  Selain belum memenuhi kualitas, distribusi guru tidak tidak merata.
Agar kualitas guru hingga ke pelosok-pelosok pedesaan itu bagus, maka harus ada pengawasan menyeluruh mengenai kualitas pendidikan nasional. Hal ini juga merupakan tanggung jawab pemerintah derah untuk bersama-sama melakukan itu agar menghilangkan gap antara kualitas pendidikan di pulau Jawa dengan pendidikan di luar Jawa. Sekarang kalau anda lihat tingkat pendidikan  itu di Jawa dan luar Jawa sangat beda. Dan ini berbahaya ke depan, padahal, kekayaan bumi kita sangat banyak di luar Pulau Jawa.
Masalah pendidikan keterampilan, seperti Politeknik, berapa sih jumlah Politeknik di Indonesia, apalagi yang berkualitas. Mungkin bisa kita hitung pakai jari sekarang ini. Padahal yang melahirkan tenaga-tenaga teknik di lapangan itu berasal dari politeknik, bukan S1. Jenjang S1 memang harus banyak, tapi politeknik D1, D2, D3, sampai D4 itu juga harus dirancang oleh pemerintah. Mindset masyarakat mengenai politeknik, yang menganggap D3 itu merupakan 2nd class, perlu diubah.
Bulan Maret lalu saya sempat berkunjung ke Swedia. Saya lihat di sana, bagaimana sekarang lulusan politeknik dalam bidang IT itu sangat diminati oleh banyak industri. Karena mereka fokus pada spesialisasi kemampuan teknik yang dibutuhkan oleh pabrik-pabrik di bidang IT di sana.
Terakhir yang paling penting dari itu semua di atas adalah kepintaran itu harus dibarengi dengan hati yang bersih. Pintar tapi hati kita kotor itu hanya akan memperburuk kondisi negeri ini. Kepintaran juga harus disertai dengan hati yang bersih dan tulus untuk digunakan membangun Negara Republik Indonesia tercinta ini.
The Extreme Future
Belum lama ini saya membaca buku berjudul The Extreme Future dari seorang global futurist, James Canton Ph.D. Buku ini menarik untuk dibaca oleh anak-anak muda karena kita melihat bagaimana teknologi itu sekarang berkembang dengan begitu cepat, dan tidak lagi linear. James Canton ini dulu pernah belajar dari Alvin Toffler, seorang futurist yang terkenal dengan bukunya The Future Shock dan The Third Wave.
Trigger (pemicu) yang membuat James Canton menulis buku ini adalah dari peristiwa 9/11. Kejadian 11 September 2001 telah mengubah dunia selamanya. Setelah peristiwa tersebut, Bush mengumpulkan pemikir-pemikir di AS untuk berbicara mengenai konsep ke depan. Apa sih sebenarnya peluang dan tantangan di masa depan, dan apa yang akan terjadi di dunia yang berpengaruh secara signifikan dalam kehidupan kita di masa datang.
Dalam bidang energi, Canton memproyeksikan bahwa supply minyak bumi akan semakin habis dan harganya akan semakin mahal. Akan terjadi perpindahan sumber-sumber energi kepada bahan bakar alternatif. Mereka yang telah berinvestasi pada sumber-sumber energi alternatif akan mendapatkan keuntungan yang besar. James Canton meramalkan bahwa supply energi di masa depan akan bergantung pada inovasi energi Hidrogen. Hydrogen merupakan sumber alam yang selalu tersedia.
Perubahan yang begitu cepat dan drastis dalam ICT (Information, Communication & Technology) juga membawa dampak signifikan pada bidang militer dengan mulai dimanfaatkannya Drone sebagai pesawat pengintai tanpa awak yang mampu memberikan informasi yang detail. Ini bisa mengurangi jatuhnya korban karena bisa dikendalikan dari jarak jauh. Dalam bidang medis, teknologi mampu memprediksi seorang manusia akan mengalami sakit apa saja, dan segera bisa dicegah dan mendapatkan penyembuhannya. Hingga usia manusia bisa mencapai 150 tahun. Masa depan ketenagakerjaan juga mengalami perubahan yang drastis. Dan di sinilah pentingnya peningkatan kualitas di bidang pendidikan.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah hanya akan menjadi market dari kemajuan teknologi ini?
McKinsey Global Institute meramalkan bahwa Indonesia akan menjadi 7 besar kekuatan ekonomi dunia pada 2030. Hal ini tertuang dalam “The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential” (2012). Pada tahun 2030 yang akan datang peluang bisnis bagi sektor swasta di Indonesia bakal mencapai USD 1,8 triliun. Dan kalau kita lihat dari banyaknya konsumsi domestik yang memberikan kontribusi yang besar bagi PDB Indonesia, maka diperkirakan dalam dua dekade ke depan akan ada 90 juta kelas konsumen baru yang tumbuh di Indonesia.

Indonesia sebenarnya sudah mendapat bonus demografi sejak tahun 2010 dan akan mencapai puncaknya sekitar tahun 2020 hingga tahun 2030, yaitu dengan bonus demografi sebesar 70% usia produktif.
Akan tetapi bagaimana dengan kualitas pendidikan kita? Data PISA (The Programme of International Assesment) menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia berada pada ranking kedua terbawah dari 65 negara yang disurvei oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).
Padahal kalau kita lihat anggaran pendidikan kita dalam APBN sudah sebesar Rp365,89 triliun atau 20% dari belanja negara. Sementara itu kualitas pendidikan antara di Jawa dan luar Jawa sangat extrim bedanya.
Upaya Indonesia untuk menjadi negara maju harus didukung kualitas sumber daya manusia dan penguasaan teknologi, inovasi, kualitas pendidikan, infrastruktur, serta kemampuan daya saing yang memadai. Indonesia harus memastikan berlangsungnya transformasi ekonomi dari yang berbasiskan sumber daya alam menuju ekonomi yang berbasis sumber daya manusia dan teknologi. Karena negara maju bukan dinilai dari pertumbuhan ekonomi saja, namun juga dilihat dari kesejahteraan yang merata. Ini ditunjukkan dari indikator Human Development Index, yaitu kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan.
Oleh karena itu, pengembangan sumber daya manusia untuk menghasilkan kreativitas yang bisa menggerakkan ekonomi, menjadi sangat penting. Agar pertumbuhan ekonomi dapat terjaga, Indonesia harus memaksimalkan potensi energi terbesar yang ada di dalam negeri, yaitu panas bumi. Selain itu, Indonesia wajib melakukan efisiensi konsumsi bahan bakar minyak (BBM).
Perbaikan infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandar udara, menjadi prasyarat mutlak untuk meningkatkan efisiensi. Buruknya kondisi infrastruktur ini berimbas pada logistik nasional. Akibatnya, selisih harga barang-barang di wilayah barat Indonesia dan timur terlalu jauh. Sementara itu, untuk infrastruktur non fisik seperti informasi, komunikasi, dan teknologi juga masih minim. Di Jakarta, broadband saja kurang, apalagi di Papua.
Jika itu terpenuhi, Indonesia dapat menjadi negara maju pada 2025, atau lebih cepat lima tahun dari prediksi McKinsey. Kalau melihat dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pada 2025 kita sudah dikategorikan negara berpenghasilan tinggi.
Satu tantangan terbesar lainnya adalah bagaimana pelaku birokrasi memperbaiki diri serta membuat pelayanan lebih mudah dan simpel. Pembenahan pada berbagai tantangan di atas membutuhkan konsistensi untuk menjamin pertumbuhan ekonomi dan kesinambungan pembangunan Indonesia. Maka jangan sampai kita hanya menjadi market saja. Untuk itu sebaiknya anak-anak muda harus menyiapkan diri dengan disiplin ilmu, terutama dalam bidang teknologi.
sumber : http://www.luhutpandjaitan.com/

No comments:

Post a Comment