Bagi yang penasaran mengapa SBY
menunjuk TB Silalahi menjadi ketua Dewan Pengawas Partai Demokrat yang lagi di
puncak kesulitannya, bacalah buku ini: TB SILALAHI (bercerita tentang
pengalamannya). Jangankan mengurai benang kusut yang ruwet, Pak Harto yang
begitu berkuasa pun berhasil dia “tundukkan”.
Dalam buku yang ditulis dengan gaya
bahasa yang sangat menarik, lancar, dan mengalir oleh wartawan senior Atmadji
Sumarkidjo ini, berbagai kisah penundukan TB diceritakan: menundukkan Jenderal
Rudini, Jenderal Edy Sudradjat, dan banyak jenderal lainnya yang sebenarnya
adalah atasannya. TB juga berhasil menundukkan para analis perang, berbagai
universitas, para tokoh agama, dan yang hebat TB juga berhasil menundukkan
dirinya sendiri. TB berhasil pula menundukkan wilayah-wilayah berat seperti
Sulsel dan Papua. TB berhasil merebut hati masyarakat di dua provinsi itu.
Sampai-sampai, saat TB diangkat menjadi menteri di Kabinet Pembangunan VI, doa
syukur bersama untuknya justru dilakukan jamaah masjid di Enrekang, Sulsel,
sesaat setelah TB dilantik. Bahkan, seorang gubernur Papua yang terkenal polos,
Ishak Hindom, pernah berani menyampaikan kepada Pak Harto bagaimana kalau Papua
merdeka saja: presidennya orang Papua asli dan perdana menterinya T.B.
Silalahi.
TB memang brilian. Dia selalu lulus
terbaik untuk jenis pendidikan apa saja yang pernah dijalaninya selama menjadi
tentara. Mulai AMN sampai kursus-kursus yang begitu banyaknya. Termasuk saat
mengikuti Sekolah Komando dan Lemhanas. Bahkan, ketika Seslapa, TB lulus dengan
cum laude. Hanya sekali dia menjadi juara dua. Yakni, sewaktu menjalani tes
masuk Seskoad (Sekolah Komando Angkatan Darat). Itu pun akhirnya dia juga
menjadi juara satu karena juara pertamanya rupanya ada masalah, lalu dicoret. Kalau
ada yang dia sesalkan adalah mengapa ditakdirkan tidak pernah mendapat
kesempatan bersekolah di Amerika Serikat. Ini gara-gara hubungan Indonesia-AS
memburuk tahun itu yang diingat melalui ucapan Presiden Soekarno: go to hell
with your aid. Tapi, TB berusaha menundukkan dirinya sendiri: Dia pinjam semua
buku yang dibawa pulang oleh perwira-perwira yang lebih dulu berkesempatan
bersekolah militer di AS. Dia lalap semua buku itu. Tanpa bersekolah ke AS pun,
penguasaan ilmunya bisa lebih unggul.
TB memang hobi membaca. Sebab, TB
menyenangi tugas mengajar. Itu sempat membuat komandannya kaget ketika dalam
mengisi formulir penempatan, TB memilih mengajar. Lulusan terbaik setiap
jenjang pendidikan selalu mendapat prioritas untuk memilih ditempatkan di mana.
TB memilih mengajar, yang umumnya dijauhi perwira lain. Padahal, dia perwira
kavaleri yang tangguh. Sangat menonjol di berbagai operasi, baik di Garut,
Malangbong, Tasikmalaya (operasi penumpasan Kartosuwirjo), maupun operasi di
Sulsel (penumpasan Kahar Muzakkar). Menarik membaca alasan TB: “Saya sudah
cukup di pasukan, lama-lama di pasukan bisa bodoh!” Maka, berangkatlah TB ke
Pusat Pendidikan Kavaleri di Purabaya. Satu daerah pegunungan kapur di Jabar
yang jauh dari Bandung. Sepanjang perjalanan ke kampus itu, TB harus melewati
debu kapur sehingga sang guru sering tiba di kampus sebagai kera putih Hanoman.
Sebagai guru, TB tidak ada tandingannya.
TB selalu terpilih sebagai pengajar terfavorit di setiap pemilihan pengajar
oleh para siswanya. Tidak heran bila TB belakangan juga dikenal sebagai gurunya
para jenderal. Tidak ada jenderal yang pada masa pendidikannya tidak pernah
diajar dengan menarik oleh TB. Setidaknya, gelar itu diberikan Jenderal
Wiranto. Saat itu, Wiranto menjadi ajudan Presiden Soeharto. Ketika Pak Harto
mulai tertarik dengan TB dan menanyakan siapa itu TB, Wiranto dengan singkat
mengatakan bahwa TB itu gurunya para jenderal. Wiranto-lah yang selalu menjadi
pintu bagi TB untuk bertemu Pak Harto. Belakangan, ketika hubungan TB dan Pak
Harto sudah istimewa, justru Wiranto yang minta bantuan TB untuk memperlancar
tugasnya sebagai ajudan presiden. Terutama kalau suasana hati Pak Harto lagi
mendung. TB-lah yang mampu mencairkan pikiran Pak Harto.
Itu ada ceritanya. Sewaktu TB harus
menghadap Pak Harto menyampaikan masalah yang sangat penting, Wiranto
mencegahnya. Pak Harto lagi bad-mood. Tapi, TB ngotot karena masalahnya memang
penting. Di ruang kerja Pak Harto itu, TB mencari akal bagaimana membuat Pak
Harto tidak lagi murung. Berceritalah TB mengenai kisah kehebatan Pak Harto
yang pernah dia dapat dari para jenderal yang pernah mendengarnya. Yakni,
mengenai pertempuran Ambarawa. Waktu itu, Pak Harto diperintah Jenderal Gatot
Subroto untuk mempertahankan sebuah bukit yang penting. Pak Harto dan
pasukannya tidak boleh meninggalkan bukit itu sama sekali. Ketika malam,
Belanda membombardir bukit itu habis-habisan, Jenderal Gatot Subroto menangis. Dia
mengira Pak Harto pasti sudah tewas. Demikian juga pasukannya. Pagi itu, Gatot
Subroto mengerahkan pasukan menyisir bukit tersebut untuk mencari mayat Pak
Harto. Ternyata, Pak Harto masih hidup. Ternyata, Pak Harto, dengan
perhitungannya sendiri, tidak menaati perintah atasannya itu. Pak Harto,
sebelum malam tiba, sudah meninggalkan bukit tersebut.
Senjata TB itu sangat ampuh. Baru
sebentar TB berkisah, Pak Harto sudah menimpali. Bahkan, Pak Harto-lah yang
kemudian meneruskan kisah itu dengan semangatnya. Wiranto yang mendengarkan
dari ruang sebelah merasa gembira. Maka, setiap melihat Pak Harto bad mood,
Wiranto minta agar TB berpura-pura punya urusan dengan Pak Harto. Hebatnya, TB
menyadari, menjadi anak emas itu banyak tidak enaknya. Dan dia belajar banyak
dari situ. Waktu Rudini diangkat menjadi KSAD, TB yang masih paban diminta
menjadi orang nomor dua untuk menghadap. Padahal, mestinya para asisten dulu.
Itu menimbulkan kecemburuan yang merugikan dirinya. Apalagi ketika akhirnya tahu
TB-lah yang diminta membuatkan konsep tujuh perintah harian KSAD yang baru. TB
juga pernah menjadi anak emas Jenderal M. Jusuf. Mulanya dari kunjungan
Menhankam/Pangab yang putera asli Makassar itu ke Makassar setelah meredanya
kerusuhan anti-Tionghoa di sana. Jenderal Jusuf begitu senangnya kerusuhan
tersebut berhasil diselesaikan dengan cepat. Karena itu, saat itu juga, di
tempat rapat itu juga, Jenderal Jusuf minta pangkat Pangdam Hasanuddin Brigjen
Soegiarto dinaikkan menjadi mayor jenderal.
Setelah itu, sang Pangdam dengan
rendah hati mengemukakan bahwa kerusuhan tersebut cepat teratasi berkat peran
asisten operasinya, Letkol TB Silalahi. Kebetulan, pangkat TB itu sudah agak
lama tersendat. Mendengar itu, Jenderal Jusuf langsung mengeluarkan perintah
yang mengagetkan: Ya sudah, naikkan pangkat Silalahi hari ini juga! KSAD saat
itu, Letjen Poniman, menjelaskan kenaikan pangkat tidak bisa dilakukan mendadak
di tempat seperti itu. Setidaknya, harus dibuatkan dulu surat keputusannya di
Jakarta. Harus dicarikan dulu nomor surat keputusan yang akan dibuat. Apa
jawaban Jenderal Jusuf? “Tidak usahlah kau cari-cari nomornya. Kalau perlu,
pakai nomor mobil saya,” perintah sang Jenderal. Tentu tidak ada yang berani
membantah perintah panglima ABRI. Tapi, ada kesulitan teknis untuk menaikkan
pangkat TB saat itu juga. Dari mana bisa mendapatkan tanda pangkat kolonel di
kota seperti Makassar yang akan disematkan di pundak TB. Sudah diusahakan
dicarikan di toko-toko dan di pasar loak, tapi tidak ditemukan. Akhirnya,
memang bisa didapat. Tapi, tanda pangkat itu sudah sangat kusam. Cepat-cepat
tanda pangkat itu di-brasso untuk disematkan di pundak TB.
Kelak, peristiwa tersebut
menyulitkan karir TB. Terutama setelah panglima ABRI-nya diganti. TB dikira
“geng”-nya Jenderal Jusuf. Karirnya terhenti sangat-sangat lama dan
penempatannya pun tidak di pusat kekuasaan. TB sempat frustrasi lagi.
Sampai-sampai, saat berjalan pagi dengan istrinya di kompleks Seskoad Bandung,
TB mengambil sikap yang dianggap istrinya sangat aneh. Ketika melewati patung
Jenderal Gatot Subroto, TB berhenti: menghadap patung, memberi hormat militer
dengan sikap sempurna, dan meneriakkan kata-kata berikut ini:
“Pak Gatot, saya ini stres berat. Saya sudah mencoba berbuat yang terbaik untuk Angkatan Darat. Tapi, nasib saya terkatung-katung. Mohon petunjuk?!”
“Kamu ini sudah miring,” kata istrinya. “Lama-lama kamu bisa gila!” tambah sang istri.
Sangat menarik mengetahui bagaimana TB berhasil menundukkan dirinya sendiri dari rasa frustrasi. Lalu, berhasil bangkit, mencapai pangkat letnan jenderal, dan bahkan menjadi menteri. Sekarang ini, pada usianya yang sudah 75 tahun tapi masih gesit seperti saat berumur 60 tahun, guru segala jenderal ini diminta kembali ke medan laga. Kali ini ke arena politik kekuasaan. Tentu kali ini TB tidak membawa tank kavaleri.
Si Anak Hadal dari Balige
“Pak Gatot, saya ini stres berat. Saya sudah mencoba berbuat yang terbaik untuk Angkatan Darat. Tapi, nasib saya terkatung-katung. Mohon petunjuk?!”
“Kamu ini sudah miring,” kata istrinya. “Lama-lama kamu bisa gila!” tambah sang istri.
Sangat menarik mengetahui bagaimana TB berhasil menundukkan dirinya sendiri dari rasa frustrasi. Lalu, berhasil bangkit, mencapai pangkat letnan jenderal, dan bahkan menjadi menteri. Sekarang ini, pada usianya yang sudah 75 tahun tapi masih gesit seperti saat berumur 60 tahun, guru segala jenderal ini diminta kembali ke medan laga. Kali ini ke arena politik kekuasaan. Tentu kali ini TB tidak membawa tank kavaleri.
Si Anak Hadal dari Balige
Tiopan Bernhard Silalahi dilahirkan
di Pematang Siantar pada tanggal 17 April 1938, di tengah-tengah keluarga yang
berkecukupan pada saat itu karena ayahnya adalah seorang supir pibadi seorang
Belanda yang menjabat sebagai kepala perkebunan di daerah Sidamanik dan Tiga
Balata. Pada umur tiga tahun, keluarga TB Silalahi pindah ke kampung halaman
mereka, di Pagarbatu, Balige. Sebagai orang yang berkecukupan, ayahnya mampu
membeli bis yang digunakan untuk mencari nafkah. Akan tetapi kebahagiaan itu
memudar seiring dengan kedatangan penjajahan Jepang. Di samping itu ayahanda TB
jatuh sakit yang akhirnya meninggal dunia pada saat dia berumur 5 tahun. Selama ayahanda dalam perawatan sampai
meninggal, TB Silalahi harus hidup dalam serba kekurangan karena seluruh harta
terpaksa harus dijual untuk membiayai pengobatan ayahanda tercinta. Sang Ibunda
yang sedang mengandung adik bungsunya terpaksa menjadi buruh pemecah batu bagi
perintah Jepang yang sedang membuka jalan.
Penderitaan TB Silalahi kecil
berlanjut hingga masuk ke sekolah rakyat yang membuatnya berbeda dengan
anak-anak yang lain pada saat itu. Dia terpaksa harus menahan lapar saat
menggembalakan kerbau dan memakan harimonting dan serangga untuk sekedar
mengganjal perut, tetapi seiring dengan menyerahnya Jepang terhadap Sekutu dan
Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, kehidupan keluarga TB Silalahi kecil
sedikit membaik karena ibunda mempunyai kesempatan berdagang beras ke Sumatera
Timur khususnya ke Medan, dan sebaliknya membawa barang-barang kelontong dari
Medan untuk dijual di Balige. Namun, keluarga TB Silalahi kecil kembali
mengalami penderitaan ketika Ibunda dirampok oleh pasukan liar di Batu Lubang,
seluruh barang dagangannya dirampas berikut uang yang merupakan modal usaha.
Kondisi ini memaksa TB Silalahi
kecil untuk berjuang bersama orangtua dengan membantu berjualan di pasar setiap
hari Jumat. Karena tidak mau merepotkan sang ibu, TB Silalahi kecil juga
bekerja sebagai penjual es cendol, mencuci mobil, menjadi kacung tenis, mencap
kertas rokok untuk sekedar membiayai sekolah dan hidup mandiri, hal itu
berlanjut hingga beliau duduk di bangku SMA yang membentuknya menjadi manusia
yang berjiwa besar dan mandiri. TB Silalahi kecil juga dikenal sebagai anak
yang hadal atau lebih tepatnya adalah anak yang hiperaktif, berani, dan selalu
tampil sebagai pemimpin, beliau tidak takut memasuki daerah-daerah yang
diyakini sangat angker oleh penduduk kampungnya. Setelah menyelesaikan
pendidikan SMA, TB. Silalahi berhasil lulus seleksi dan akhirnya mengecap perkuliahan
di ITB jurusan Arsitektur. Ia masuk ITB karena terinspirasi oleh Presiden
Soekarno yang juga alumni Teknik Sipil ITB. Tetapi tersendatnya biaya kuliah
karena sulitnya kehidupan di kampung halaman memaksa TB. Silalahi untuk
mengubur impiannya menjadi seorang arsitek, meski hingga saat ini jiwa
arsiteknya selalu mencul dengan ide-ide yang luar biasa.
Akhirnya di tengah-tengah kesulitan
biaya kuliah, Akademi Militer Nasional (AMN), sekarang AKMIL, di Magelang
membuka kesempatan untuk pemuda-pemuda Indonesia untuk mengikuti pendidikan
militer, dan TB. Silalahi berhasil lolos seleksi dan menjadi Taruna Militer
selama 3 tahun (1958-1961). Sesungguhnya menjadi prajurit adalah cita-citanya
sejak kecil tetapi pihak keluarga tidak pernah merestui cita-cita tersebut.
Setelah menjalani pendidikan di AMN, penugasan demi penugasan dijalani TB.
Silalahi. Diawali sebagai Danton Yonkav 4 Siliwangi dalam operasi
Kamdagri di Jawa Barat (1962), Wadanki dalam operasi Kamdagri di Sulawesi
Selatan (1963-1965) bersamaan dengan operasi Dwikora. Danyonkav 8 Tank Kostrad
(1972), ke Timur Tengah sebagai pasukan PBB pada perang Oktober 1973 antara
Israel dan Mesir sebagai Camp Commandant UNEF Middle East di Kairo. Dosen Sesko
AD (1974), Asops Kasdam XVI Hasanuddin di Ujung Pandang (1978), Kasdam IV
Diponegoro (1984) dan Asisten Perencanaan dan Anggaran KASAD (1986) dengan
pangkat Mayor Jenderal TNI.
Sejalan dengan penugasannya, TB
Silalahi memanfaatkan waktunya dengan mengikuti pendidikan di Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran Bandung sampai sarjana muda (1968) dan mendapatkan S1
pada Sekolah tinggi Hukum Militer dengan predikat Cumlaude (1995). Atas
prestasinya dalam bidang pemerintahan dan sosial, ia beroleh gelar Doctor
Honoris Causa dari Universitas Gregorio Araneta, 8 agustus 1996 di Manila,
Filipina. Karir militernya dilanjutkan dengan tugas karya sebagai
Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan dan Energi (1988). Pada masa
Pemerintahan Presiden Soeharto (1993), Kabinet pembangunan VI, menjabat Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Jenderal
TNI. Tahun 2004, Presiden SBY mengangkat TB Silalahi menjadi penasehat presiden
yang kemudian pada tahun 2006 menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Timur
Tengah. Pada 2007 diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden
(Wantimpres) dalam bidang pertahanan dan keamanan
sumber : http://www.tabloidgabe.com/2013/05/tb-silalahi-guru-para-jenderal.html
No comments:
Post a Comment