“This country, the Republic of Indonesia, does not belong to any group, nor to any religion, nor to any ethnic group, nor to any group with customs and traditions, but the property of all of us from Sabang to Merauke!"
(Ir Soekarno Speech in Surabaya, September 24, 1955)
Ketika quick-count hasil pemilu legislatif tanggal 9 april 2014 diumumkan dan menunjukkan bahwa tidak ada partai politik yang memperoleh suara cukup dominan untuk dapat mengajukan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) secara mandiri, maka kita telah membayangkan berbagai konsekuensi negatif yang mungkin terjadi.
Konsekuensi pertama telah nyata terlihat di depan mata, partai-partai saling menunggu dan saling menyandera dalam merangkai kerjasama (koalisi) untuk menghasilkan gabungan partai pengusung capres dan cawapres. Akal sehat mengatakan bahwa setiap parpol pastilah ingin bergabung dengan partai yang mempunyai capres dengan peluang menang paling besar. Untuk itu mereka berharap dapat diberi imbalan kursi cawapresnya, atau beberapa portfolio tertentu. Sebaliknya partai yang menurut hasil survei dari lembaga-lembaga yang dapat dipercaya dengan nilai elektabilitas tinggi, memilih cawapresnya dengan sangat hati-hati, berkesan tidak tergesa-gesa walaupun tampaknya dibayangi oleh kekuatiran akan kehilangan kesempatan mendapat mitra parpol untuk diajak bekerjasama.
Konsekuensi kedua akan terjadi saat presiden dan wakil presiden terpilih menata pemerintahannya: dengan modal kursi di DPR yang jauh dari dominan, presiden terpilih akan mengalami masalah besar untuk mendapat dukungan mayoritas di DPR. Akibatnya kebijakan dan program-programnya bisa terancam tidak terealisasi dengan baik. Sementara kebijakan bagi-bagi kursi kabinet seperti yang pernah dilakukan pada era pemerintahan sebelumnya, terbukti jauh dari efektif. Fraksi-fraksi oposisi maupun koalisi di DPR tetap saja memanfaatkan setiap peluang untuk menaikkan popularitas partainya sendiri daripada fokus mendukung program atau ide pemerintah, walaupun ide pemerintah itu juga berorientasi pada kepentingan rakyat.
Pemerintah mendatang sebaiknya membuat penentangan tidak wajar yang dilakukan oleh fraksi di DPR menjadi kontra-produktif bagi fraksinya sendiri, karena ia melawan pemerintah yang didukung oleh rakyat banyak. Untuk menjadi pemerintah yang didukung oleh rakyat banyak, pemerintah mendatang harus mampu menunjukkan bahwa pemerintahannya benar-benar pemerintahan yang bersih dari segala macam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme dengan program-program yang benar-benar pro-rakyat. Dengan demikian fraksi-fraksi di DPR akan kehilangan popularitasnya bila menentang program tersebut. Sebaliknya bila pemerintah mendatang ternoda oleh kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme maka pemerintahan mendatang akan jauh dari predikat pemerintahan yang kuat, dan dengan cepat akan kehilangan dukungan rakyat. Kita harus mencatat bahwa pemilihan presiden (pilpres) 2014 ini dilingkupi kondisi masyarakat yang jauh lebih sadar hukum dan kukuh menuntut kehadiran pemerintahan yang bersih.
Sekali lagi, untuk menjadi kuat, pemerintah mendatang tidak bisa mengandalkan besarnya perolehan kursi partainya di DPR. Karena perolehan kursi partai-partai politik pada pemilu kali ini relatif berimbang, tidak berbeda jauh satu dengan lainnya.
Sehingga yang dapat dilakukan yaitu dengan menunjukkan bahwa pemerintahannya bersih dari segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme serta berkinerja tinggi. Dalam hal ini perlu digarisbawahi pula bahwa dalam menentukan pejabatportfolio dan jabatan terkait lainnya, pemerintah tidak boleh tersandera oleh rekam jejak maupun balas budi terhadap partai-partai kerjasama (koalisi).
Mudah-mudahan situasi hasil pemilu legislatif ini menjadi blessing in disguise dan momentum baik bagi bangsa Indonesia ke depan, bahwa era merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme itu sudah tidak lagi menjadi citra Indonesia di mata dunia. Citra mendatang, adalah terbangunnya Indonesia baru yang berkinerja tinggi serta bebas dari segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kita sangat optimistis era itu akan terwujud dalam waktu yang tidak lama lagi. Mari kita doakan semoga demikian adanya, dan mari kita ucapkan selamat datang pemerintahan baru dan selamat datang era Indonesia baru.
Terima Kasih.
Jakarta, 28 April 2014
Luhut B. Pandjaitan
Jenderal TNI (Purn.)
Danrem di Wilayah Santri
Suatu hari saya iseng membuka kumpulan album lama saya ketika masih aktif menjadi perwira TNI. Entah mengapa, saya mengambil sebuah foto, memperlihatkan saya duduk dikelilingi para pengasuh Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo, Madiun. Ketika itu saya menjadi Komandan Korem (Danrem) 081 di Madiun pada tahun 1995.
Tugas sebagai Danrem adalah penugasan non-tempur pertama bagi saya, maka tidak mengherankan saya betul-betul all-out melakukannya. Seperti diketahui, wilayah teritorial yang harus saya bina cukup luas, meliputi Kabupaten Pononogo, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan, Kabupaten Madiun dan Kotamadya Madiun. Masyarakatnya adalah Muslimin yang taat beribadah. Pondok Modern Darussalam Gontor yang terkenal di Indonesia ada disana. Reog yang terkenal di seluruh Indonesia, berasal dari Ponorogo. Jadi saya juga mengenal dekat kampung Presiden SBY yaitu Pacitan.
Ini merupakan pekerjaan-pekerjaan baru yang sebelumnya amat asing bagi saya. Bagaimana tidak, hampir 21 tahun sebelumnya, karir saya selalu berkutat dengan persoalan “kekerasan” (seek and destroy). Sebagai prajurit tempur di Kopassus, ilmu yang saya pelajari adalah bagaimana misalnya merusak pintu dengan cepat, menembak, dan berhubungan dengan strategi penyerangan.
Tapi menjadi komadan teritorial, kini saya dituntut juga untuk bagaimana bisa turut membangun masyarakat. Sehingga saya harus mengenal soal IDT (Instruksi Presiden untuk Desa Tertinggal), mengurusi warga, memilih sampai menanam bibit jambu mete, dan banyak sekali persoalan-persoalan yang amat berbeda dari pola kerja terdahulu.
Pengalaman di Jawa Timur juga pengalaman saya pertama bersentuhan dengan kultur orang Jawa, lebih tepatnya orang Jawa Timur. Memang, ketika dididik di Akabri di Magelang, sedikit banyak saya telah berinteraksi dengan masyarakat Jawa disekitar Magelang hingga Yogyakarta, tetapi lingkupnya terbatas. Meski istri saya berasal dari Tapanuli, tetapi hidupnya dihabiskan di tanah Pasundan (Jawa Barat). Sehingga yang terasa kental ya budaya Sunda-nya. Saya juga sekolah SMA di Bandung, dan sebelumnya tinggal dengan orang tua saya di Riau. Jadi kami berdua benar-benar menikmati tugas di Jawa Timur ini.
Kendati demikian, saya menyadari betul suasana baru tersebut. Ini pula yang mengubah gaya kepemimpinan saya. Kalau di Kopassus, misalnya ada anak buah yang tidak beres dalam pekerjaannya, tentu saya bersikap keras. Tapi pada jabatan Komandan Teritorial di Madiun ini saya tentu harus menurunkan ritme. Bahkan karena menduduki jabatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat setempat, sekarang saya sudah lupa caranya untuk marah.
Saya teringat suatu kali saya lihat anak buah saya ada yang murung dan duduk termenung sendirian. Saya tegur, “Eh Bung, kenapa kau?” sambil saya tepuk bahunya. Lalu dia bercerita bahwa ia sedang merindukan pacarnya yang berada di Jawa Tengah. Mendengar ceritanya, saya lalu mengizinkannya untuk meninggalkan markas. “OK, boleh kau pergi sekarang. Bukan dua hari tapi saya beri waktu seminggu. Tapi ingat harus pulang tepat waktu,” perintah saya kepadanya. Dia tersentuh dan setelah kembali ke tugas, ia bersemangat lagi.
Seorang pemimpin itu menurut saya haruslah menanamkan pengertian yang jelas soal hak dan kewajiban kepada mereka yang kita pimpin. Berikan apa yang betul-betul menjadi hak mereka, sebaliknya mereka juga harus mengerti betul kewajibannya dalam melaksanakan tugas.
Saya belajar tentang pesantren. Ini juga merupakan dunia baru yang sebelumnya tidak saya kenal. Saya jadi mengetahui dan memahami betapa peran penting dunia pondok pesantren dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Saya tidak bisa membayangkan seandainya tidak ada pesantren, maka sekitar puluhan juta penduduk Indonesia tidak akan pernah mengenyam pendidikan. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan upaya pembangunan manusia seutuhnya. Dan ini telah dilakukan oleh dunia pesantren. Pesantren punya andil besar dalam hal ini. Dan saya bersyukur pimpinan waktu itu memberikan kepercayaan kepada saya memimpin teritorial, sehingga saya mengenal dunia pesantren.
Jadi setelah saya dilantik menjadi Danrem, kepada Kepala Staf Korem (Kasrem) yang sudah menempati posnya lebih dahulu, saya minta untuk mengatur komunikasi tatap muka dengan para pemuka masyarakat di tempat-tempat yang merupakan tanggungjawab saya. Saya berniat mengunjungi sebanyak mungkin pondok pesantren yang ada, baik yang terkenal seperti Gontor maupun puluhan pesantren lain yang tersebar di seluruh Kabupaten.
Sebagai orang yang beragama Kristen, saya tidak mempunyai rasa was-was atau minder untuk bergaul dengan sesama satu bangsa yang kebetulan agama dan kepercayaannya berbeda dengan saya. Seperti saya ceritakan pada awal, keikutsertaan saya dalam Pasukan Perdamaian PBB di Mesir membuka wawasan saya mengenai Timur Tengah, mengenai Islam dan budayanya. Saya belajar bahwa agama Islam adalah agama perdamaian, agama yang menghormati perbedaan, agama yang melindungi kaum yang lemah. Ketika kemudian berkesempatan mengunjungi Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG), saya makin kagum melihat kinerja mereka. Ketika itu saja jumlah santri dan santriwatinya hampir 10 ribu orang. Sesuai dengan predikat kata “modern” dalam namanya, maka mereka tidak hanya belajar mengaji, tetapi juga belajar berbagai ilmu modern, termasuk bahasa Inggris. Konon dalam satu minggu, ada satu hari dimana seluruh isi pesantren harus berbicara dalam bahasa Inggris. Hebat sekali! Tidaklah mengherankan, PMDG menghasilkan para tokoh nasional seperti Dr. Hidayat Nur Wahid, Din Syamsudin, Muhammad Basyuni dan alm. Nurcholis Madjid.
Karena pengalaman di Timur Tengah itu, saya berani bersilaturahim dengan berbagai pesantren yang ada di wilayah tanggungjawab saya. Saya tidak ingat benar, berapa pesantren yang saya kunjungi tetapi karena saya datang dengan iklas dan hati bersih; umumnya sambutan para kiai sangat baik. Dan komunikasi yang setara berhasil saya bangun di Madiun. Tidak ada masalah SARA (Suku, Agama, Ras dan antar golongan) yang terjadi selama saya menjabat sebagai Danrem.
Jadi Danrem di Madiun itu unik. Di bagian utara terdapat wilayah pegunungan, sementara di bagian selatan, di Pacitan ada laut; jadi wilayah binaan saya ada bagian gunung dan daratan rendah tetapi juga ada Samudra Hindia. Di Madiun terdapat pangkalan udara TNI-AU paling penting dan paling besar yaitu Lanud Iswahyudi. Begitu pentingnya sehingga Komandan Pangkalan (Danlanud) berpangkat Marsekal Pertama, bintang satu, padahal jabatan fungsional saya dalam sistem pemerintahan Orde Baru adalah Ketua Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah), padahal pangkat saya Kolonel. Jadi perlu seni tersendiri bagaimana memimpin Muspida dimana anggotanya ada yang berpangkat lebih tinggi dari saya. Dan juga lebih senior.
Ketika Kasad Pak Wismoyo mengadakan lomba Korem terbaik, saya terpilih menjadi Danrem terbaik. Saya gembira sekaligus bangga karena menunjukkan bahwa saya, prajurit Baret Merah mampu memimpin sebuah komando teritorial. Banyak hal yang saya peroleh pada jabatan yang saya emban selama satu tahun setengah kala itu. Terutama adalah bagaimana akhirnya saya belajar mengenal kultur Jawa dan masyarakatnya.
Hal lain yang merupakan sesuatu yang baru selama menjadi Danrem adalah berhubungan dengan Pemda, berurusan dengan masyarakat miskin di desa-desa tertinggal, dan sebagainya.
Selama satu setengah tahun memimpin Korem Madiun paling tidak kami telah melakukan kegiatan-kegiatan kecil tapi konkret dan mudah dilaksanakan, yang dapat langsung membantu masyarakat kecil di pedesaan.
Melalui kerjasama dengan beberapa instansi seperti Bank dan Yayasan Bhakti Persatuan, waktu itu Korem Madiun telah dapat merealisasikan beberapa kegiatan usaha di bidang pertanian, peternakan, pipanisasi air bagi rakyat. Selain itu Korem Madiun juga telah menanam sejuta pohon produktif di sejumlah wilayah tandus seperti di Pacitan waktu itu.
Untuk anak-anak muda, pesan saya, seorang pemimpin itu harus memiliki rasa cinta kepada masyarakat yang dipimpinnya. Dan untuk memimpin haruslah dengan hati, selain kapabilitas yang baik, kemampuan yang baik dalam memimpin, juga harus cerdas dan selalu mengedepankan hati dalam setiap membuat keputusan. Sehingga sebuah kemajuan itu bisa dicapai secara bersama-sama. Bukan saja hanya menjadi kesuksesan seorang pemimpin saja, tapi masyarakat yang dipimpin juga akhirnya bisa merasa bangga atas keberhasilan yang telah dicapai.
Sungguh amat disayangkan jika ada keberhasilan seorang pemimpin namun masyarakat yang dipimpinnya tidak mengakui keberhasilan tersebut, sebaliknya hanya keburukan dari pemimpin itu saja yang selalu teringat di masyarakat
sumber : http://www.luhutpandjaitan.com/
sumber : http://www.luhutpandjaitan.com/
No comments:
Post a Comment