Kali ini saya akan bercerita mengenai pengalaman saya saat bertemu dengan Presiden Irak Saddam Hussein. Bagi saya ini merupakan pengalaman yang cukup menarik dan langka.
Pada tahun 2000 di masa pemerintahan Presiden Gus Dur, saya yang saat itu menjabat sebagai Meteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) diperintahkan Gus Dur untuk melakukan kunjungan kerja ke Irak. Ini dalam rangka membicarakan program Oil for Food. Program Oil for Food ini adalah program dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang memperbolehkan Irak menjual minyaknya ke pasar dunia untuk ditukar dengan makanan, obat-obatan dan berbagai kebutuhan kemanusiaan lainnya. Tapi tidak untuk membuat Irak memperkuat kemampuan militernya. Seperti diketahui, setelah Perang Teluk tahun 1990-1991, Irak mengalami kesulitan ekonomi yang parah, industri mereka hancur dan rakyat menderita kelaparan. Yang mereka punya hanya minyak mentah saja.
Waktu itu ekonomi kita masih parah akibat krisis moneter (krismon) yang melanda Indonesia tahun 1997-1998. Karena itu ada pemikiran, apabila Indonesia ikut terlibat dalam Oil for Food ini maka kita juga akan bisa mendapatkan keuntungan atau bisnis buat negara. Irak butuh makanan dan Indonesia perlu minyak.
Lalu berangkatlah saya ke Irak, melalui Kota Amman, Yordania, karena tidak ada pesawat terbang sipil yang bisa mendarat di kota manapun di Irak karena penerapan no-fly zone yang keras dari AS. Delegasi yang saya pimpin juga mengikutsertakan Theys Hiyo Eluay (alm.), Ketua Dewan Presidium Papua. Sengaja saya bawa Theys, untuk meredam gejolak yang ada di Papua. Pak Theys waktu itu sangat menikmati sekali perjalanan ini karena ini perjalanan ke luar negeri pertamanya. Tidak itu saja, saya membawa sejumlah pengusaha nasional, antara lain Marimareem dan juga Prabowo Subianto.
Sebagai Menperindag RI, saya juga membawa surat pribadi Gus Dur kepada Presiden Republik Irak. Oleh Kedubes Irak di Jakarta, saya memang sudah difasilitasi untuk mendapatkan privilege untuk bertemu dengan Saddam Hussein.
Di perbatasan Irak-Yordania, iring-iringan kendaraan kami dihentikan oleh penjaga bersenjata. Meskipun ada petugas protokol Kemlu Irak dan surat resmi yang menyatakan bahwa kami adalah delegasi resmi yang hendak bertemu dengan Presiden Irak, memakai paspor diplomatik, mereka tidak membolehkan kami masuk ke Irak. Setelah beberapa menit menunggu di mobil, saya mulai tidak sabar. “Apa kendalanya kita tidak boleh masuk?” saya tanya petugas protokol.
“Kata mereka, orang-orang asing yang hendak masuk Irak harus di-tes HIV-AIDS..?”
“Apa? Apa kaitannya kita dengan penyakit itu?” saya mulai kesal.
Kemudian pengusaha Marimarem mendatangi saya, dan bisik-bisik, “Pak, sebenarnya mereka bisa memberi kita masuk, asalkan itu pak…”
Saya maklum, apa yang dimaksudnya dengan “itu”. “Ya, sudah, kau atur saja bagaimana…” saya jawab kepadanya.
Ternyata “itu” yang dimaksudkan nilainya 100 dollar AS. Setelah “transaksi” kami tanpa basa basi diperbolehkan masuk ke Irak.
Perjalanan dari Amman ke Baghdad cukup jauh hampir 5 jam. Jalannya lurus dan beraspal halus. Tetapi di kiri-kanannya terdapat bangkai kendaraan-kendaraan lapis baja Irak yang dihancurkan oleh pasukan Koalisi semasa perang. Kemudian rombongan diarahkan ke hotel Al Rasheed, Baghdad yang amat terkenal, karena sewaktu Perang Teluk 1991 dijadikan markas liputan dari stasiun televisi CNN. Di situlah seluruh delegasi dari Indonesia menginap. Saya sendiri sebagai utusan Presiden Gus Dur ditempatkan di guest house istana yang megah dan mewah. Di situlah saya menunggu satu hari penuh tanpa kejelasan jadwal pertemuan dengan Presiden hingga hampir saya agak bosan.
Di hari keduanya, saya belum juga diterima untuk audensi dengan Saddam Hussein. Sempat saya complain kepada pihak protokol, kalau saya tidak diterima maka saya akan pulang saja ke Indonesia, karena terlalu lama menunggu. Lalu saya dibawa tur jalan-jalan di kota Baghdad agar tidak bosan. Mereka menunjukkan bagaimana jembatan-jembatan di Baghdad yang dihancurkan Amerika telah dibangun kembali, lalu saya diajak makan untuk melihat-lihat kondisi bahwa mereka tidak terpengaruh dengan tekanan Amerika.
Pendek cerita akhirnya saya diberi tahu oleh protocol istana, bahwa sekarang waktunya menghadap Presiden Saddam Hussein. Lalu saya segera berganti baju dan ikut mobil yang disediakan untuk menuju ke tempat Saddam Hussein.
Mobil menuju ke sebuah gedung yang besar yang saya pikir di situlah tempatnya. Namun ternyata saya dibawa masuk untuk terus keluar melalui pintu belakangnya. Lalu saya diajak masuk ke mobil yang lain lagi, dan kita jalan lagi kira-kira sekitar 15 menit. Kemudian saya dibawa masuk lagi satu gedung yang saya kira itu merupakan gedung Kemenlu mereka. Namun sama seperti sebelumnya, saya turun di situ lalu dibawa masuk ke dalam untuk keluar melalui pintu belakang. Di belakang sudah menunggu mobil yang lain. Saya naik ke mobil tersebut. Sebagai perwira yang terlatih dalam operasi khusus, saya sadar ini cara mereka untuk menghilangkan jejak (deception) sekiranya ada yang mengikuti mobil saya.
Baru setelah itu mobil menuju satu tempat kira-kira jalan 20 menit ke arah pinggir kota Baghdad. Dan di situlah saya menuju satu gedung yang menurut saya cukup sederhana, banyak pohon-pohon kurma di kiri-kanannya. Saya masuk ke satu ruangan besar dan disana sudah ada sejumlah petinggi Irak yang duduk, tak lama Saddam Hussein sudah datang dengan para pengawalnya mengikuti di belakang. Semua berdiri dan membungkuk hormat ke arah Presiden Saddam. Ia duduk di kursi yang ditentukan, dan seorang berpakaian militer berdiri tepat di belakangnya.
Saya ucapkan, “Assalamualaikum The Great General of Iraq, Mr. President Saddam Hussein.”
Memang sewaktu sebelum berangkat ke Irak, saya sempat menanyakan ke Duta Besar Irak untuk Indonesia, Prof. Saddun, bagaimana menyebut Presiden Saddam Hussein jika saya bertemu dengannya. Prof. Saddun mengatakan, panggil saja The Great Genereal of Iraq, beliau suka dipanggil seperti itu, Prof Saddun menambahkan. Apalagi mengetahui bahwa latar belakang saya adalah dari special forces (Kopassus), beliau pasti lebih senang karena keluar dari mulut seorang mantan perwira pasukan elit.
Dalam audensi tersebut, Presiden Irak didampingi oleh Menteri Perdagangan Irak dan Prof. Saddun, sekaligus sebagai penerjemah pertemuan tersebut. Sebelumnya saya telah diberitahu bahwa waktu yang disediakan untuk saya untuk pertemuan tersebut hanya 30 menit saja. Karena Saddam Hussein sibuk dan biasanya tidak pernah menerima tamu lebih dari 30 menit. Karena itu sejak awal pembicaraan, saya langsung menyampaikan surat dari Presiden Gus Dur yang didalamnya tertulis bahwa saya di sana sebagai utusan resmi dari Presiden RI.
Lalu sebagai bahan perbincangan awal, saya sempat memujinya tentang operasi militer Irak memasuki Kuwait. Karena pada waktu penyerbuan Irak ke Kuwait itu (Agustus 1990), saya sedang studi di National Defense University di Amerika Serikat, maka saya tahu banyak bagaimana operasi militernya Irak tersebut disiapkan. Di sana saya lihat, saya utarakan di depan Pak Saddam, bagaimana ia begitu disegani oleh pihak lawannya.
Rupanya beliau senang sekali dengan pujian saya, kemudian bertepuk tangan. Saya pikir, kenapa beliau tiba-tiba bertepuktangan, ternyata masuklah pengawalnya. Oh, rupanya begitulah caranya memanggil pengawalnya.
Ia berbicara dalam bahasa Arab yang tentu saya tidak mengerti artinya, dan baru belakangan saya tahu untuk membawakan cigar (cerutu), dan juga menawarkannya pada saya. Saya jawab dengan sopan, “Great General, ini sebuah kehormatan bagi saya mendapat cigar langsung dari Anda. Saya tidak akan menghisap cerutu ini, saya akan membawa pulang cigar ke negeri saya, dan saya akan katakan ini adalah buah tangan langsung dari Presiden Saddam Hussein…”
Rupanya, ia merasa tersanjung. Saddam Hussein bertepuktangan lagi, lalu datang pengawalnya yang sama. Kali ini ia membawa satu box cigar dan langsung kotak tersebut diberikan ke saya…!
Jadi saya lihat, begitu ramahnya Saddam Hussein kepada saya untuk menawarkan berbagai jamuannya. Semua menterinya saya lihat respek pada beliau.Tidak ada yang bersandar kekursinya, sehingga saya juga tidak bersandar. Begitu asyiknya pembicaraan mengenai Oil for Food, hubungan Irak dengan Indonesia, dan saya banyak menyinggung tentang operasi militernya.
Akhirnya sudah lebih dari 30 menit, pembicaraan masih terus berjalan. Presiden Irak itu berbicara dengan penuh semangat….
Setelah 45 menit, Saddam Hussein masih asyik bicara dengan segala keramahannya. Dan setelah satu jam, Prof Saddun mengedip-ngedipkan mata ke saya member kode bahwa ini cukup lama. Tapi saya juga tidak bisa memutus pembicaraan karena Saddam Hussein masih terus bicara dengan bahasa Arab yang diterjemahkan oleh Prof. Saddun.
Hampir satu setengah jam pertemuan tersebut berlangsung, namun beliau masih asyik. Tentu saja tidak ada satu pun menteri-menterinya yang berani berkomentar. Padahal seingat saya beliau sudah 4 kali bertepuktangan untuk menambah minum, cigar dan segala macam jamuannya.
Akhirnya di ujung pembicaraan, dua jam setelah itu, Presiden Saddam Hussein menyetujui memberikan bantuan sebesar $1 Milyar, padahal awalnya permintaan kita adalah $500 juta.
Setelah pertemuan selesai, Saddam Hussein dengan ramahnya mengantar saya hingga menuju ke kendaraan yang akan saya tumpangi untuk kembali. Menurut Prof. Saddun, jarang sekali Presiden Saddam mengantar tamunya hingga keluar pintu. Dan itu yang membuat saya sangat terkesan. He’s a very nice guy. Itu yang saya lihat.
Kalau kita lihat kondisi Irak saat ini, saya baru sadar bahwa memang leadership tangan besi dari Saddam Hussein sangat diperlukan untuk menyatukan beberapa golongan atau suku di Irak (kaum Syiah, Sunni dan suku Kurdi) itu. Bahwa memang di area itu harus dipimpin oleh pimpinan yang sangat tegas. Karena kalau tidak, di antara kelompok akan saling berperang.
Ketika Amerika Serikat menyerbu Irak tahun 2003 dan mencoba memasukkan demokrasinya ke daerah itu, kita belum melihat perubahan yang berarti. Yang terjadi malah kondisi Irak menjadi seperti sekarang ini. Berapa orang yang mati, berapa trilyun dollar kerugiannya?
Tim peneliti gabungan dari AS, Kanada, dan Irak memperhitungkan jumlah korban jiwa sejak invasi pasukan AmerikaSerikat dan sekutunya hingga pertengahan 2011, mencapai 461.000 orang. Dan lebih parah dari itu mungkin ada dendam yang terus bertumbuh di antara masing-masing suku dan faksi di Irak, sehingga mengakibatkan konflik berkepanjangan atau kekerasan sektarian terjadi hingga sekarang ini. PBB memperkirakan terjadi peningkatan kekerasan sektarian dengan korban jiwa mencapai 5.000 orang antara Januari hingga September tahun 2013 lalu.
Sementara menurut laporan BBC dua tahun sebelumnya, sepanjang 2012 korban kekerasan sectarian mencapai 3.000 orang jiwa. Ini saya kira sebuah pembelajaran, satu aspek lain mengenai leadership yang mungkin tidak cocok dengan pemikiran ideologi tertentu. Kita tidak bisa memaksakan satu sistem politik suatu negara kepada negara lain tanpa memahami kultur bangsa atau masyarakat di wilayah tersebut.
sumber : http://www.luhutpandjaitan.com/
sumber : http://www.luhutpandjaitan.com/
No comments:
Post a Comment