Medan Perang Baru: Cyber Warfare
Mungkin belum banyak mengenal Institut Teknologi Del. Tiga belas tahun yang lalu saya mendirikan IT Del yang jauh dari kota, letaknya di pinggir Danau Toba, tepatnya Jl. Sisingamangaraja, Desa Sitoluama, Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Pemilihan tempat di Danau Toba bertujuan agar para mahasiswa fokus dalam menjalani studi tanpa terganggu aktivitas perkotaan, sehingga tercipta lulusan berkualitas.
Pada Senin 12 Mei 2014, IT Del telah melakukan kerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) AD dalam bidangcyber security di kampus IT Del, Sumatera Utara. Ada tiga program yang akan dikerjakan antara kampus IT Del dengan TNI AD. Ketiga program itu: penyiapan model perang siber, seminar military cyber intelligence and cyber operation, serta cyber camp atau pekan siber.
Bagi saya pribadi kerjasama ini sungguh membanggakan, karena setelah 2 tahun berdirinya kampus yang awalnya bernama Politeknik Informatika Del, saya merasa kurang memperhatikan sekolah ini. Saat itu saya menangis di hadapan Tuhan, "Mau diapakan sekolah ini.” Namun kini melihat kenyataan bahwa lebih dari 90 persen lulusan kampus ini sudah ‘diijon’ oleh berbagai perusahaan, saya bersyukur pada Tuhan ini semua bisa terjadi.
Kenapa TNI AD memilih IT Del yang baru berumur 13 tahun untuk bekerjasama?
Hal ini karena IT Del fokus untuk menekuni dan mendalami bidang IT, serta mempunyai potensi untuk bergerak dalam bidang ini. Pada September tahun lalu, IT Del mengawali kerja sama dengan Kementerian Pertahanan. Sebelumnya juga sudah ditandatangani kerjasama dengan beberapa universitas, di antaranya Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Budi Luhur, Politeknik Negeri Malang, dan (Royal Institute of Technology) di Stockholm, Swedia.
Tidak tertutup kemungkinan setelah TNI AD, TNI Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian akan menyusul. Sehingga kita bisa mengembangkan kemampuan Indonesia di bidang teknologi. Selain itu, kita belajar dari negara-negara maju seperti Rusia dengan pertukaran pelajar untuk mendalami riset cyber security.
Seperti kita ketahui, kita memasuki medan perang baru, dunia siber. Perang siber atau cyber warfare menjadi ancaman baru di samping perang konvensional sistem senjata (alutsista). Kejahatan di dunia maya, sudah berkembang pesat dan membahayakan. Kejahatan tersebut muncul karena penyalahgunaan teknologi internet atau jaringan komputer seperti menyebar virus yang merusak akses informasi, membajak atau mencuri informasi, mengubah informasi secara ilegal, hingga memata-matai akses informasi. Betapa satu operasi yang ada saat ini bisa dihentikan sehingga listrik tidak jalan, pesawat terbang dan traffic air control diganggu sehingga tidak berjalan dengan baik.
Di hadapan TNI AD yang diwakili Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Munir, IT Del menampilkan demonstrasicybergym, aplikasi cyber human intelligence dan atraksi penyerangan pesawat tanpa awak atau drone. Mereka memperlihatkan drone mini bisa diubah arah geraknya oleh pihak lawan. Ini yang harus kita antisipasi dan kita kembangkan menghadapi perang di dunia maya atau cyber warfare yang kian hari makin mengancam.
Riset IT Del ini bisa menjadi potensi bangsa yang harus dimanfaatkan untuk memerangi kejahatan di dunia maya di masa yang akan datang. Ke depan kita harus punya software sendiri dalam bidang intelijen. Sebab, kita tidak tahu ada malware-malware yang sudah dimasukkan dalam software yang kita beli. Sebagai negara ekonomi terbesar dalam 10 tahun ke depan, Indonesia harus memproduksi security software. Kita harus melakukan pertahanan sendiri yang baik.
Dalam kunjungan ke IT Del ini juga hadir para dubes dari negara sahabat, Dubes Rusia, Dubes Australia, Dubes Finlandia, Dubes Republik Ceko, Wakil Dubes Swedia, Jenderal TNI (Purn) H Fachrul Razi serta tamu-tamu penting lain.
Memutus Lingkaran Setan Listrik
Di wilayah Indonesia yang luas ini masih banyak daerah yang terisolasi dan kurangnya fasilitas listriknya. Transmisi dan distribusi yang sulit membuat transfer kelebihan daya menjadi sangat mahal. Fakta ini menunjukkan, listrik masih menjadi kebutuhan besar bagi masyarakat Indonesia. Hal ini juga berarti industri listrik mempunyai pasar yang besar untuk dikembangkan karena kebutuhannya masih besar dan belum dipenuhi dengan maksimal. Kebutuhan listrik yang besar ini menuntut pemerintah untuk bisa memenuhinya.
Selama ini PLN memasok 78% listrik, sisanya sebesar 22% dipasok swasta (independent power producer/IPP).
Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang tidak leluasa bahkan belum menikmati fasilitas listrik. Hal ini tecermin dari konsumsi listrik per kapita yang masih sangat kecil. Berdasarkan data Bank Dunia yang dilansir Frost & Sullivan, konsumsi listrik Indonesia sekitar 750 kWh per kapita.
Konsumsi listrik masyarakat Indonesia ini jauh di bawah Malaysia yang mencapai 3.700 kWh per kapita. Bahkan tingkat konsumsi listrik Indonesia masih kalah dengan Vietnam yang sekitar 1.000 kWh per kapita. Sementara konsumsi listrik Thailand 1.865 kwh, dan Singapura sebesar 8.170 kwh. Ini berarti kondisi kelistrikan Indonesia terburuk dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita. Tingkat konsumsi kita hanya sedikit di atas rata-rata low income countries namun jauh di bawah rata-rata low middle income countries.
Kebutuhan yang besar, pasokan terbatas, serta harganya yang mahal menjadi masalah klasik dalam industri listrik Indonesia.
Besarnya kebutuhan tapi pasokan minim membuat pemerintah harus impor listrik dari Malaysia hingga 50 megawatt (MW) pada 2014 hingga 5 tahun ke depannya.
Ini semua, akar masalahnya menurut saya adalah karena perizinan yang demikian sulit dari pemerintah. Policy yang ada lebih terkesan mengedepankan penggunaan diesel daripada memberikan kemudahan untuk pembangunan pembangkit listrik.
Padahal biaya yang dibutuhkan untuk listrik diesel itu membayar 30 sampai 35 sen dollar per kilo watt/hour. Ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan Malaysia yang menjual listrik 9 sen dolar per kWh.
Akar masalah yang kedua adalah pada penentuan harga. Menentukan harga itu kan sebenarnya sederhana.
Ada 3 komponen saja yang perlu diperhatikan.
1. Bunga bank berkisar di 7,5% saja
2. Menyangkut investment ratio and return-nya
3. Payback.
Payback itu mungkin 8 sampai 9 tahun. Nah, dari situlah keluar harga per kWh.
Jadi sebenarnya kalau dibuat sederhana penyelesaiannya itu bisa sederhana. Tapi kalo kita mau dibuat kompleksitasnya jadi tinggi seperti sekarang. Ya dibiarkan seperti ini. Sehingga banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang paradoks.
Misalnya pemerintah mengurangi ekspor batu bara tapi tidak memberikan kemudahan untuk membangun listrik di mulut tambang, sehingga suatu tempat menjadi kekurangan listrik. Seperti di Kalimantan Timur, di sana kekurangan listrik hampir 800- 900 mega watt. Padahal batu bara sangat banyak, dan banyak sekali orang yang mau membangun pembangkit listrik tetapi tidak ada kebijakan yang jelas.
Jadi kalau melihat bidang energi ini, juga bertentangan dengan kebijakan hilirisasi yang sangat membutuhkan infrastruktur listrik sebagai penunjangnya, selain jalan, pelabuhan, dan air. Kalau listrik tidak ada bagaimana orang mau membangun hilirisasi smelter? Kalau mau membangun listrik sendiri untuk smelternya, konsekuensinya cost-nya akan meningkat.
Jadi sebenarnya, ini betul-betul satu lingkaran setan yang harus dipotong. Nah motong ini, sebenarnya sederhana seperti yang saya katakan di atas tadi. Tidak merupakan satu hal yang istimewa.
Ya bisa saja harga listrik itu ditinggikan, pada awal sampai payback, tapi setelah payback, dikembalikan pada harga normal. Karena biaya pokok pembangkit yang menggunakan BBM mencapai 30 sen dollar per kilowatt hour (kWh)
Padahal dengan memakai geothermal, jika harga awal $18 sen sampai payback, maka seratus ribu geothermal mega watt di Indonesia itu bisa diberdayakan. Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia yaitu 29,038 GW. Namun demikian pemanfaatannya masih kecil yaitu sebesar 1.189 MW.
Banyak pihak pingin berinvestasi di bidang pembangkit tenaga listrik. Karena apa?
Investor itu pengen secure, investasinya kembali on time. Menurut analisa Frost & Sullivan, pada lima tahun mendatang potensi investasi untuk pembangkit listrik adalah sekitar USD33,5 miliar.
Jadi masalah ini sebenarnya bisa diselesaikan manakala pemerintah secara komprehensif melakukan studi dan berani membuat keputusan untuk kepentingan orang banyak. Sepanjang itu tidak ada kepentingan pribadi. Atau conflik of interest.
Maka dari itu dalam 5 tahun ke depan pemenuhan listrik itu akan bisa segera dilakukan, tidak perlu menunggu 10 tahun.
Kita harus memutuskan rantai tersebut. Mudah-mudahan pihak-pihak yang memiliki otoritas cukup bijaksana untuk memilih yang terbaik bagi bangsa dan negara ini dalam politik anggaran kita sehingga dapat memutus lingkaran setan tersebut.
sumber : http://www.luhutpandjaitan.com/
No comments:
Post a Comment