Pada tahun 1966 saya duduk di kelas tiga SMA Kristen, Dago, kota Bandung. Oleh orangtua saya di Riau saya dianggap “berandal”, tukang berkelahi, dan mungkin kesal dan kewalahan dengan sifat saya, mereka kemudian mengirim saya untuk bersekolah SMA di Bandung. Tetapi juga saya disekolahkan ke Bandung agar nantinya bisa kuliah di ITB yang sangat terkenal itu. Saya dititipkan pada seorang paman, agar jadi pelajar “benar”. Artinya lepas dari kawan-kawan saya sesama tukang berkelahi di Rumbai, Riau.
Sementara itu sejak awal November 1965 ibukota Republik Indonesia, Jakarta, sudah bergolak dengan berbagai unjukrasa para mahasiswa. Memang sejumlah organisasi mahasiswa yang bermarkas di Jakarta sepakat membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Mereka berunjukrasa menuntut pemerintah membubarkan Partai Komnis Indonesia (PKI) yang dianggap sebagai dalang pemberontakan Gerakan 30 September 1965.
Hanya beberapa minggu kemudian, KAMI Cabang Bandung dibentuk, dan kota itu hampir setiap hari diramaikan oleh unjukrasa. Tanggal 10 Januari 1966 dideklarasikan Tritura atau Tri Tuntutan Rakyat yang terdiri dari : tuntutan pembubarkan PKI, Turunkan harga-harga dan retool menteri-menteri yang tidak becus dari kabinet.
Tetapi bukannya mendengarkan tuntutan anak-anak muda, pada Februari 1966, Presiden Soekarno saat itu menginstruksikan pembubaran KAMI. Hanya satu hari setelah KAMI dibubarkan oleh Bung Karno, di Jakarta dibentuk Kesatuan Aksi Pemuda-Pelajar Indonesia (KAPPI) dengan Ketua Presidiumnya M. Husni Thamrin. Sementara para mahasiswa Jakarta yang ingin meneruskan gerakan penentangan terhadap PKI membentuk Laskar Ampera Arief Rachman Hakim (ARH) dibawah pimpinan Fahmi Idris, unjukrasa kemudian lebih didominasi oleh anak-anak muda dan pelajar SMP dan SMA se-Jakarta. KAPPI mengatur “penyaluran” para pelajar tersebut dan tempat atau lokasi unjukrasa dikoordinasikan dengan para mahasiswa dibawah komando ARH. Malahan mereka sengaja menempatkan anak-anak pelajar di bagian depan pendemo, sementara mahasiswa mengikuti dari belakang. Rupanya ini taktik, menjadikan anak-anak bercelana pendek itu semacam “tameng” karena diperkirakan aparat keamanan tidak akan tega melakukan kekerasan terhadap “anak-anak ingusan”.
Pembentukan KAPPI di Jakarta kemudian disusul dengan pembentukan komisariat-komisariatnya di sekolah di seluruh Jakarta dan kemudian menjalar ke kota-kota lain. Pola organisasi KAPPI agak berbeda dengan kakak-kakak mereka di KAMI atau ARH. Umumnya pengurus KAPPI di sekolah adalah para pelajar senior (kelas 2 dan 3) yang juga adalah pengurus IP (Ikatan Pelajar), tetapi untuk pengurus antar-sekolah, maka para penggeraknya adalah mahasiswa atau aktivis organisasi yang sudah tidak berstatus pelajar. Usia mereka tentu saja sudah 20-an tahun. Jauh di atas usia pelajar.
Seperti juga kakak-kakak kami para mahasiswa, para pelajar yang ada di kota Bandung mengikuti dengan cermat apa yang terjadi di Jakarta. Bandung tidak jauh letaknya dari Jakarta, jadi “kehangatan” terasa benar di kota kami. Tetapi seperti juga para mahasiswa Bandung, kami tidak mau sembarang ikut-ikutan apa yang dilakukan di Jakarta.
Jadi, berbagai demo atau unjukrasa yang dilakukan para pelajar sekolah SMA swasta dan Negeri Bandung pada awalnya digerakkan dalam wadah Kelompok Murid (KM) yang dipimpin oleh Ketua Murid Umum (KMU). Tetapi para pelajar SMA Negeri di kota Bandung sejak Januari 1966 sudah mempunyai organisasi aksi antar-SMA Negeri yang dinamakan Komando Kesatuan Aksi Pelajar SMA Negeri atau Kokapsman. Mereka bergerak sendiri dan kami, para pelajar SMA Swasta juga bergerak terpisah.
Pada awal Februari 1966, wakil dari SMA BPI yaitu Thomas Sitepu memprakarsai pertemuan pertama KMU se Bandung, dan disepakati membentuk Panitia Persiapan Kesatuan Aksi Pelajar SLTA untuk menyatukan para pelajar sekolah negeri dan swasta.
Ketika pada akhir Februari, kami mendapat berita bahwa KAMI di Jakarta dibubarkan, kami tersentak. Informasi tersebut juga mendorong kami untuk mempercepat pembentukan kesatuan aksi para pelajar Bandung. Beberapa diantara kami selain saya adalah Aswan Husni Hidayat, Jhon Simon Timorason. Thomas Sitepu, Ralfmuli dan Frans Theo. Kami minta bantuan tokoh KAMI Bandung yang disegani yaitu Soegeng Sarjadi, untuk menjadi semacam fasilitator.
Seingat saya pertemuan pertama diselenggarakan di sebuah gedung di kompleks Universitas Padjajaran di Jalan Dipati Ukur pada 7 Maret 1966. Kami berdebat dan berdiskusi, apakah kami akan masuk dalam KAPPI seperti para mahasiswa Bandung masuk ke KAMI, ataukah mendirikan kesatuan aksi terpisah. Tiba-tiba saja, entah dari mana, tercetus pendapat saya, “Kenapa kita tidak mendirikan saja kesatuan KAPI, singkatan dari Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia?” Menurut saya, dengan hanya ada kata “pelajar” (tanpa ada tambahan “pemuda”) maka gerakan akan lebih mudah dikendalikan, paling tidak kami sudah saling kenal. Dan kemungkinan kita dikendalikan atau disuruh-suruh oleh para pemuda yang lebih tua bisa dihindarkan. Saya sudah curiga bahwa para pelajar selama ini dikendalikan oleh pemuda non-pelajar.
Mungkin karena itu, usul saya diterima dengan bulat. Karena tidak ada yang menolak, maka langsung saja kami namakan organisasi itu Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia atau KAPI lengkap susunan kepengurusan. Pimpinan tertinggi berbentuk Presidium dan pelaksana harian adalah Sekretaris. Presidium awal terdiri dari Aswan Husni Hidayat yang mewakili sekolah negeri, saya mewakili sekolah-sekolah Kristen, Jhon Simon Timorason mewakil kelompok STM negeri/swasta, Frans Theo mewakil sekolah-sekolah Katolik ditambah dua wakil dari organisasi ekstra-sekolah yaitu Udin Koswara (Pelajar Islam Indonesia, PII) dan Suryaman (Gerakan Siswa Nasional Indonesia, GSNI).
Kemudian Presidium KAPI berubah susunannya setelah wakil-wakil organisasi ekstra-pelajar keluar dari KAPI. Jadi, Aswan Husni Hidayat menjadi Ketua Presidium pertama. Ada kesepakatan diantara pengurus untuk menggilir jabatan Ketua tersebut setiap dua bulan sekali. Otomatis setelah era Aswan berakhir, saya menjadi Ketua Presidium kedua untuk dua bulan juga sebelum kemudian digantikan oleh teman lain sesudah dua bulan menjabat.
Jadi, sejak awal Maret 1966, kesibukan saya bertambah dengan memimpin aksi-aksi pelajar dengan bendera KAPI. Nama KAPI mulai disebut-sebut di media massa nasional, berdampingan dengan nama yang telah “berkibar” terlebih dahulu: KAMI dan KAPPI. Sejumlah pelajar di kota Jakarta juga sukacita menyambut pembentukan KAPI, dan mereka yang merasa tidak cocok dengan KAPPI, lalu berpindah serta membentuk komisariat KAPI di sekolahnya. Padahal di Bandung, KAPPI tidak berhasil masuk ke sekolah manapun, semua sekolah menengah pertama dan atas di Kota Kembang itu adalah bagian dari KAPI. Tidaklah mengherankan bila KAPI mulai diperhitungkan sebagai kekuatan massa oleh para kakak di KAMI, dan juga dibenci oleh para lawan.
Di siaran radio pada 12 Maret 1966 kami mendengar bahwa Men/Pangad Letjen Soeharto mengumumkan pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) atas nama Presiden. Para mahasiswa dan pelajar di ibukota bergembira dan menyambut show of force yang diadakan oleh satuan-satuan elite ABRI keliling kota. Bagi mereka, itu merupakan sebuah kemenangan. Tetapi di kota Bandung, suasana kemenangan belum begitu terasa.
Sebab itu setiap hari kami masih mengatur unjukrasa. Setiap hari, saya pulang ke rumah paman saya sudah larut. Sekolah saya, seperti semua sekolah di kota Bandung, diliburkan karena para pelajar setiap hari keluar sekolah untuk demonstrasi. Mereka setiap pagi masuk ke sekolah, berseragam lengkap, tetapi tidak belajar. Sekitar pukul 9 atau 10, mereka kemudian bergerak keluar ke sasaran-sasaran yang berbeda-beda. Wah, bukan main lelahnya suasana saat itu. Tetapi saya sangat bergairah dengan KAPI. Sebagai salah satu pimpinan, saya termasuk yang setiap malam merancang “operasi” kami keesokan harinya. Dalam organisasi KAPI ada unit “khusus” yang dinamakan Kopasti atau Komando Pasukan Inti. Mereka adalah pelajar-pelajar setingkat SMA dan STM yang punya kemampuan bela diri dan menjadi pelopor ketika berjalan menuju sasaran unjukrasa. Mereka juga menjadi semacam pagar para pelajar putri. Salah satu “bos” Kopasti adalah teman saya Thomas Sitepu.
Unjukrasa (dulu populer dengan istilah ‘demo’) dilakukan di pusat kota, tetapi kami juga melakukan “raid” ke beberapa sasaran, seperti penyerbuan dan pendudukan sejumlah keturunan Cina di Bandung. Sekolah-sekolah itu kami duduki, dan didindingnya kami cat besar-besar : milik RI! Dengan cara itu pula, akhirnya Presidium bisa mempunyai “markas besar” sendiri yaitu di sebuah gedung di Jalan Lembong, Bandung.
Demo yang paling dramatis dan paling saya ingat adalah yang diselenggarakan di depan markas KAPI di Jalan Lembong pada tanggal 18 Agustus 1966.
Karena saya waktu itu sudah bersiap untuk ujian akhir SMA saya semakin tidak aktif. Apalagi setelah itu saya sibuk dengan persiapan melamar masuk AMN (waktu itu saya belum tahu bahwa AMN telah berubah nama menjadi Akabri), mengurus sebuah persyaratan administrasi yang diperlukan. Saya juga harus mempersiapkan diri untuk ujian masuk dan ujian fisik. Ujar paman saya, “Bagaimanapun kewajiban kamu yang utama adalah belajar…!”
Benar juga, seandainya saya teruskan keasyikan dalam KAPI, mungkin nasib saya berbeda. Banyak teman di KAPI yang “keenakan” dalam kegiatan organisasi, kemudian lupa bahwa mereka masih pelajar dan harus menyelesaikan sekolah sebagai tugas utama.
Setelah 48 tahun, kini saya mampu mengendapkan pengalaman-pengalaman berharga tersebut. Ada dua hal yang elok kita renungkan. Pertama, sebagai aktivis yang memimpin ratusan orang pelajar ketika itu salah-salah bisa terkena oleh sindrom power tends to corrupt. Saya ingat, KAPI cukup “ditakuti” oleh masyarakat, kami sebagai pimpinan bisa melakukan apa saja karena punya power, dan bisa corrupt karena tergoda oleh iming-iming lain. Tetapi bagi beberapa kawan saya, power juga sangat “dinikmati”. Buktinya seperti saya ceritakan di atas, banyak yang kemudian lupa tugas utamanya sebagai pelajar dan terus-menerus jadi aktivis.
Kedua, dalam lingkup yang lebih luas kita melihat bahwa Presiden pertama RI yaitu Bung Karno dan Presiden RI kedua yaitu Pak Harto berhenti/mundur dari jabatannya akibat unjukrasa anak-anak muda di tahun 1966 dan 1998. Mereka mundur dari jabatan karena tidak ingin munculnya kekerasan dari aparat keamanan terhadap anak-anak muda negeri ini. Sikap legawa Bung Karno dan Pak Harto tersebut menunjukkan keduanya mempunyai sikap kepemimpinan yang hampir paripurna karena leadership yang baik tidak semata diukur dalam masa jadi pemimpin, tetapi juga ketika harus memutuskan hal yang paling pahit baginya: mundur dari tampuk kekuasaan dengan ikhlas. Sejarah kepemimpinan Bung Karno dan Pak Harto menjadi pembelajaran yang positif bagi kita semua.
Keputusan Bersejarah Megawati
Di blog saya ini saya ingin menyampaikan beberapa penjelasan tambahan dari konferensi pers yang saya lakukan pada hari Jumat sore tanggal 14 Maret 2014 lalu. Konferensi pers itu saya selenggarakan lebih kurang 3 jam setelah Ibu Mega menyampaikan pernyataan pemberian mandat kepada Ir. Joko Widodo untuk menjadi calon presiden Republik Indonesia yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Pemberian mandat oleh Ibu Mega kepada Joko Widodo itu menurut pendapat kami, sejumlah Jendral purnawirawan, adalah hal yang sangat luar biasa dan pantas diberi apresiasi yang tinggi. Seseorang yang sudah mempunyai mandat sebagai calon presiden, sebuah jabatan tertinggi di dalam pemerintahan Indonesia, tiba-tiba tanpa paksaan dari siapapun juga menyerahkan mandat itu kepada seseorang yang lain. Itu benar-benar merupakan sebuah keputusan bersejarah yang mudah-mudahan akan dapat memberi warna baru bagi dunia kepemimpinan Indonesia di masa depan.
Bagi saya pribadi yang sedikit banyak sudah mengenal Ibu Mega saat saya menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI, pada saat beliau masih menjadi Wakil Presiden RI, tidak terlalu terkejut dengan keputusan itu. Pada pandangan saya, Ibu Mega adalah sosok negarawan yang tidak berbicara muluk-muluk namun bijak, cermat dan tegas dalam mengambil keputusan, serta konsisten dengan sikap yang telah diambil. Karenanya, jauh hari sebelumnya saya sudah yakin bahwa beliau akan mengambil keputusan seperti itu, mendahulukan kepentingan bangsa daripada sekedar memenuhi ambisi pribadi.
Pada kesempatan itu kami pesankan pula bahwa Ibu Mega masih punya tugas berat lain di masa depan, selain tugas untuk memenangkan PDIP dan Joko Widodo pada Pemilu mendatang. Yaitu tugas untuk memelihara dan meningkatkan nasionalisme anak-anak bangsa yang belakangan ini terasa telah terkikis cukup jauh.
Pak Joko Widodo sendiri harus kami akui bahwa kejujuran dan langkah-langkah pembenahan cepat yang dilakukannya, meskipun baru satu tahun memimpin DKI, telah menjadikannya sebagai people darling yang digadang-gadang rakyat banyak menjadi Presiden Republik Indonesia pada periode mendatang.
Pada konferensi pers hari Jumat itu, kami juga mengingatkannya untuk tidak menyia-nyiakan kepercayaan Ibu Mega, kepercayaan PDIP dan kepercayaan rakyat banyak. Kalau ia terpilih menjadi presiden RI pada pemilu mendatang, hendaknya ia bekerja lebih keras lagi bagi kejayaan Indonesia, tidak saja membawa Indonesia menjadi lebih baik dari keadaan sekarang, tapi juga bekerja keras untuk membawa Indonesia ke jaman keemasan yang dicita-citakan.
Karena di Partai Golkar saya pribadi menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan, maka pada kesempatan itu saya juga menyampaikan penilaian positif terhadap Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar, yang juga merupakan calon presiden yang diusung oleh Partai Golkar. Bagi saya pak Joko Widodo dan Aburizal Bakrie adalah dua calon presiden yang sangat pantas untuk bertanding pada pilpres mendatang, karena terlepas dari nilai kurang atau lebih masing-masing. Keduanya adalah sosok yang cakap untuk memimpin bangsa ini pada periode mendatang. Yang mana di antara keduanya yang akan memenangkan pemilihan, berpulang pada seluruh rakyat Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya pada Pemilu mendatang.
sumber : http://www.luhutpandjaitan.com/
No comments:
Post a Comment