FILSAFAT HUKUM DALAM MEMBANGUN KESADARAN HUKUM DAN
KETAATAN HUKUM
Jika kita berbicara filsafat, kita
seakan berada pada ranah yang sangat abstrak, dan filsafat hukum merupakan
cabang dari filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam
pembentukan masyarakat sadar hukum dan taat di Indonesia. Hukum adalah dalam
kompas ilmu untuk manusia, atau sosial ilmu, karena merupakan bagian integral
dan penting dalam komponen manusia masyarakat dan budaya. Tidak ada kejadian
yang dikenal dari suatu keadaan dalam pengalaman manusia, di mana masyarakat
yang heterogen ada dan budaya telah tanpa, atau sudah bebas dari, hukum.
Dimanapun dan kapanpun masyarakat dan budaya yang ditemukan, ada hukum juga
ditemukan, menggenangi seluruh masyarakat sebagai bagian dari budaya. Seperti
komponen lain dari masyarakat manusia dan budaya, hukum adalah fenomena, rentan
terhadap ketakutan intelektual dengan bantuan dari indra manusia, dan tunduk
pada penyelidikan empiris dan ilmiah deskripsi. Hukum merupakan salah satu
bentuk budaya untuk kendali dan regulasi perilaku manusia, baik individual atau
kolektif dalam penerapannya. Hukum adalah alat utama dari kontrol sosial pada
masyarakat modern serta dalam masyarakat primitif.
Pembentukan masyarakat sadar hukum
dan taat akan hukum merupakan cita-cita dari adanya norma-norma yang
menginginkan masyarakat yang berkeadilan sehingga sendi-sendi dari budaya
masyarakat akan berkembang menuju terciptanya suatu sistem masyarakat yang
menghargai satu sama lainnya, membuat masyarakat sadar hukum dan taat hukum
bukanlah sesuatu yang mudah dengan membalik telapak tangan, banyak yang harus
diupayakan oleh pendiri atau pemikir negeri ini untuk memikirkan hal tersebut.
Hukum bukanlah satu-satunya yang berfungsi untuk menjadikan masyrakat sadar
hukum dan taat hukum, Indonesia yang notabene adalah negara
yang sangatheterogen tampaknya dalam membentuk formulasi hukum
positif agak berbeda dengan negara-negara yang kulturnya homogen, sangatlah
penting kiranya sebelum membentuk suatu hukum yang akan mengatur perjalanan
masyarakat, haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang
akan mewujudkan keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama
yang ada di Indonesia.
Peranan hukum didalam masyarakat sebagimana
tujuan hukum itu sendiri adalah menjamin kepastian dan keadilan, dalam
kehidupan masyarakat senantiasa terdapat perbedaan antara pola-pola perilaku
atau tata-kelakuan yang berlaku dalam masyarakat dengan pola-pola perilaku yang
dikehendaki oleh norma-norma (kaidah) hukum. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya suatu masalah berupa kesenjangan sosial sehingga pada waktu tertentu
cenderung terjadi konflik dan ketegangan-ketegangan sosial yang tentunya dapat
mengganggu jalannya perubahan masyarakat sebagaimana arah yang dikehendaki.
Keadaan demikian terjadi oleh karena adanya hukum yang diciptakan diharapkan
dapat dijadikan pedoman (standard) dalam bertindak bagi masyarakat tidak ada
kesadaran hukum sehingga cenderung tidak ada ketaatan hukum.
Hukum yang diciptakan diharapkan
dapat dijadikan pedoman (standard) dalam bertindak bagi masyarakat, meskipun
harus dipaksa. Namun demikian masyarakat kita tidak sepenuhnya memahami tujuan
dari hukum tersebut, maka timbul ketidak sadaran dan ketidak taatan hukum.
Hukum merupakan hasil kebudayaan yang diciptakan untuk maksud dan tujuan
tertentu. Pada umumnya manusia adalah mahluk berbudaya, memiliki pola pikir
dalam menghargai kebudayanya.
Semenjak kita duduk di bangku
pendidikan lanjutan serta Perguruan Tinggi kita sering mendengar tentang
filsafat, apakah sebenarnya filsafat tersebut ? Seseorang yang berfilsafat
diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang tengadah ke bintang-bintang,
dia ingin mengetahui hakikat keberadaan dirinya, ia berfikir dengan sifat menyeluruh (tidak
puas jika mengenal sesuatu hanya dari segi pandang yang semata-mata terlihat
oleh indrawi saja). Ia juga berfikir dengan sifat (tidak lagi percaya begitu
saja bahwa sesuatu itu benar). Ia juga berfikir dengan sifat spekulatif (dalam
analisis maupun pembuktiannya dapat memisahkan spekulasi mana yang dapat
diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama filsafat adalah menetapkan
dasar-dasar yang dapat diandalkan.
Beberapa pengertian Filsafat hukum
banyak diutarakan oleh ahli ditafsirkan berbeda beda, namun pada pokoknya
pertanyaan-pertanyaan, pernyataan-penyataan. Ilmu pengetahuan hukum hanya
melihat gejala-gejala hukum belaka, ia tak melihat “hukum”; ia hanya melihat
apa yang dapat dilihat panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tak dapat
dilihat, yang tersenbunyi didalamnya; ia sementara mata melihat hukum sebagai
dan sepanjang menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia, dalam
kebiasaan-kebiasaan hukum.
Kemudian lebih mengerucut lagi
adalah Filsafat hukum, yaitu ilmu yang mempelajari hukum secara filosofi, yang
dikaji secara luas, mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut
dengan hakikat. Dan tujuan mempelajari filsafat hukum untuk memperluas
cakrawala pandang sehingga dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum
dan diharapkan akan menumbuhkan sifat kritis sehingga mampu menilai dan
menerapkan kaidah-kaidah hukum.
Pengertian Filsafat dan Filsafat Hukum
Filsafat dalam bahasa Inggris,
yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa
Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta)
atau philia (persahabatan, tertarik kepada) danshopia (hikmah,
kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi).
Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato
menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam
pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan arabisasi yang
berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,
sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki
kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan
bersifat spiritual.
Filsafat Hukum Menurut Gustaff
Radbruch adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar. Sedangkan
menurut Langmeyer:Filsafat Hukum adalah pembahasan secara filosofis
tentang hukum,Anthoni D’Amato mengistilahkan dengan Jurisprudence atau filsafat
hukum yang acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian
hukum secara abstrak, Kemudian Bruce D. Fischer mendefinisikan Jurisprudence
adalah suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa Latin
yang berarti kebijaksanaan(prudence) berkenaan dengan hukum (juris) sehingga
secara tata bahasa berarti studi tentang filsafat hukum.
Secara sederhana, dapat dikatakan
bahwa Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku
atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat
hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat
hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti
atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat.
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto[6] menyebutkan sembilan arti hukum, yaitu : 1) Ilmu
pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar
kekuatan pemikiran. 2) Disiplin, yaitu suatu sistem ajaran tentang kenyataan
atau gejala-gejala yang dihadapi. 3) Norma, yaitu pedoman atau patokan sikap
tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan. 4) Tata Hukum, yaitu struktur
dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat
tertentu serta berbentuk tertulis. 5) Petugas, yakni pribadi-pribadi yang
merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law
enforcement officer) 6) Keputusan Penguasa, yakni hasil proses diskresi 7)
Proses Pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur
pokok dari sistem kenegaraan 8) Sikap tindak ajeg atau perilaku yang teratur,
yakni perilaku yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan
mencapai kedamaian 9) Jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi
abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Filsafat hukum mempelajari hukum
secara spekulatif dan kritisartinya filsafat hukum berusaha untuk memeriksa
nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikatagorikan sebagai hukum ;
1. Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan
pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum.
2. Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa
gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi
dan fungsinya.
Membangun Kesadaran Hukum.
Kesadaran hukum diartikan secara
terpisah dalam bahasa yang kata dasarnya “sadar” tahu dan mengerti, dan
secara keseluruhan merupakan mengetahui dan mengerti tentang hukum, menurut
Ewick dan Silbey : “Kesadaran Hukum” mengacu ke cara-cara dimana
orang-orang memahami hukum dan intitusi-institusi hukum, yaitu
pemahaman-pemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan
orang-orang.Bagi Ewick dan Silbey, “kesadaran hukum” terbentuk
dalam tindakan dan karenannya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara
empiris. Dengan kata lain, kesadaran hukum adalah persoalan “hukum sebagai
perilaku”, dan bukan “hukum sebagai aturan norma atau asas”. Membangun
kesadaran hukum tidaklah mudah, tidak semua orang memiliki kesadaran tersebut.
Hukum sebagai Fenomena sosial merupakam institusi dan pengendalian masyarakat.
Didalam masyarakat dijumpai berbagai intitusi yang masing-masing diperlukan
didalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan memperlancar
jalannya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, oleh karena fungsinya demikian
masyarakat perlu akan kehadiran institusi sebagai pemahaman kesadaran hukum.
Pentingnya kesadaran membangun
masyarakat yang sadar akan hukum inilah yang diharapkan akan menunjang dan
menjadikan masyarakat menjunjung tinggi intitusi/ aturan sebagai pemenuhan
kebutuhan untuk mendambakan ketaatan serta ketertiban hukum. Peran dan fungsi
membangun kesadaran hukum dalam masyarakat pada umumnya melekat pada intitusi
sebagai pelengkap masyarakat dapat dilihat dengan : 1) Stabilitas, 2)
Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat, 3)
Memberikan kerangka sosial institusi berwujud norma-norma, 4) Jalinan antar
institusi.
Beberapa faktor yang mempengarui masyarakat tidak sadar akan
pentingnya hukum adalah :
- Adanya
ketidak pastian hokum.
- Peraturan-peraturan
bersifat statis.
- Tidak
efisiennya cara-cara masyarakat untuk mempertahankan peraturan yang
berlaku.
Berlawanan dengan faktor-faktor diatas salah satu menjadi
fokus pilihan dalam kajian tentang kesadaran hukum adalah :
- Penekanan
bahwa hukum sebagai otoritas, sangat berkaitan dengan lokasi dimana suatu
tindakan hukum terjadi.
- Studi
tentang kesadaran hukum tidak harus mengistimewakan hukum sebagai sebuah
sumber otoritas atau motivasi untuk tindakan.
- Studi
tentang kesadaran hukum memerlukan observasi, tidak sekedar permasalahan
sosial dan peranan hukum dalam memperbaiki kehidupan mereka, tetapi juga
apa mereka lakukan.
Berangkat dari uraian diatas maka pemenuhan kebutuhan dan
hubungan antara institusi hukum maupun institusi masyarakat berperan sebagai
pranata didalam masyarakat.
Membangun Ketaatan Hukum.
Ketaatan hukum tidaklah lepas dari
kesadaran hukum, dan kesadaran hukum yang baik adalah ketaatan hukum, dan
ketidak sadaran hukum yang baik adalah ketidak taatan. Pernyataan ketaatan
hukum harus disandingkan sebagai sebab dan akibat dari kesadaran dan ketaatan
hukum. Sebagai hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara kesadaran hukum dan
ketaataan hukum maka beberapa literaur yang di ungkap oleh beberapa pakar
mengenai ketaatan hukum bersumber pada kesadaran hukum, hal tersebut tercermin
dua macam kesadaran, yaitu :
- Legal
consciouness as within the law, kesadaran hukum sebagai ketaatan
hukum, berada dalam hukum, sesuai dengan aturan hukum yang disadari atau
dipahami.
- Legal
consciouness as against the law, kesadaran hukum dalam wujud
menentang hukum atau melanggar hokum.
Hukum berbeda dengan ilmu yang
lain dalam kehidupan manusia, hukum berbeda dengan seni, ilmu dan profesionalis
lainya, struktur hukum pada dasarnya berbasis kepada kewajiban dan tidak diatas
komitmen. Kewajiban moral untuk mentaati dan peranan peraturan membentuk
karakteristik masyarakat. Didalam kenyataannya ketaatan terhadap hukum tidaklah
sama dengan ketaatan sosial lainnya, ketaatan hukum merupakan kewajiban yang
harus dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan akan timbul sanksi, tidaklah
demikian dengan ketaatan sosial, ketaatan sosial manakala tidak dilaksanakan
atau dilakukan maka sanksi-sanksi sosial yang berlaku pada masyarakat inilah
yang menjadi penghakim. Tidaklah berlebihan bila ketaatan didalam hukum
cenderung dipaksakan.
Ketaatan sendiri dapat dibedakan
dalam tiga jenis, mengutip H. C Kelman (1966) dan L. Pospisil (1971) dalam
buku Prof DR. Achmad Ali,SH Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan
Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interprestasi Undang-undang
(legisprudence):
- Ketaatan
yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menaati
suatu aturan, hanya karena takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis
ini, karena membutuhkan pengawasan yang terus-menerus.
- Ketaatan
yang bersifat identification, yaitu jika seseorang
menaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak
lain menjadi rusak.
- Ketaatan
yang bersifat internalization, yaiutu jika seseorang
menaati suatu aturan, benar-benar karena merasa bahwa aturan itu sesuai
dengan nilai-nila intristik yang dianutnya.
Sudut pandang filsafat tentang ketaatan terhadap hukum
Jika kita mengurai tentang
alasan-alasan mengapa masyarakat tidak menaatai hukum atau mentaati hukum, ini
adalah terjadi karena keragaman kultur dalam masyarakat. Mengapa orang mentaati
hukum? Konsep Hermeneutika menjawabnya bahwa tidak lain, karena hukum secara
esensial bersifat relegius atau alami dan karena itu, tak disangkal
membangkitkan keadilan. Kewajiban moral masyarakat untuk mentaati hukum,
kewajiban tersebut meskipun memaksa namun dalam penerapan atau prakteknya
kewajiban tersebut merupakan tidak absolut. Kemajemukan budaya yang tumbuh
didalam masyarakat, norma-norma hidup dan tumbuh berkembang dengan pesat.
Kewajiban moral dalam menyelesaikan masalah-masalah dengan keadaan tertentu.
Menurut Kohlberg (Valazquez, 1998) menyatakan perkembangan
moral individu ada 3 tahap yaitu:
- Level
Preconvenstional. Level ini berkembang pada masa kanak-kanak.
- Punishment and obidience
orientation: alasan seseorang patuh/ taat adalah untuk menghindari
hukuman.
- Instrument
and relativity orientation; perilaku atau tindakan benar karena
memperoleh imbalan atau pujian.
- Level
Conventional: Individu termotivasi untuk berperilaku sesuai dengan
norma-norma kelompok agar dapat diterima dalam suatu kelompok tersebut.
- Interpersonal
concordance orientation: orang bertingkah laku baik untuk memenuhi
harapan dari kelompoknya yang menjadi loyalitas, kepercayaan dan
perhatiannya seperti keluarga dan teman.
- Law
and order orientation: benar atau salah ditentukan loyalitas
seseorang pada lingkungan yang lebih luas seperti kelompok masyarakat
atau negara.
- Level
Postconventional: pada level ini orang tidak lagi menerima saja
nilai-nilai dan norma-norma dari kelompoknya, melainkan melihat situasi
berdasarkan prinsip-prinsip moral yang diyakininya.
- Social
contract orientation: orang mulai menyadari bahwa orang-orang
memiliki pandangan dan opini pribadi yang sering bertentangan dan
menekankan cara-cara adil dalam mencapai konsensus dengan perjanjian,
kontrak dan proses yang wajar.
- Universal
ethical principles orientation. Orang memahami bahwa suatu tindakan
dibenarkan berdasarkan prinsip-prinsip moral yang dipilih karena secara
logis, komprehensif, universal, dan konsisten.
Menurut Cristoper Berry Gray (The Philosopy of Law An
Encyclopedia-1999), tiga pandangan mengapa seorang mentaati hukum :
- Pandangan
Ekstrem pertama, adalah pandangan bahwa merupakan “kewajiban
moral” bagi setiap warga negara untuk melakukan yang terbaik yaitu
senantiasa mentaati hukum, kecuali dalam hal hukum memang menjadi tidak
menjamin kepastian atau inkonsistensi, kadang-kadang keadaan ini muncul
dalam pemerintahan rezim yang lalim.
- Pandangan kedua yang
dianggap pandangan tengah, adalah kewajiban utama bagi setiap orang (Prima
facie) adalah kewajiban mentaati hukum.
- Pandangan Ketiga dianggap
pandangan ekstrem kedua yang berlawanan dengan pandangan pertama, adalah
bahwa kita hanya mempunyai kewajiban moral untuk hukum, jika hukum itu
benar, dan kita tidak terikat untuk mentaati hukum.
- KESIMPULAN
Kesadaran hukum dan ketaatan hukum
sering kita dengar atau kita membaca pernyataan-pernyataan yang menyampaikan “Kesadaran
hukum” dengan “Ketaatan Hukum” atau “Kepatuhan
Hukum”, suatu persepsi keliru. Pemahaman Kesadaran hukum dan ketaatan hukum
yang mana dijelaskan bahwa :
- Kesadaran
hukum yang baik, yaitu ketaatan hukum, dan
- Kesadaran
hukum yang buruk, yaitu ketidaktaatan hukum.
Kewajiban moral masyarakat secara
individu untuk mentaati hukum, tidak ada yang mengatakan bahwa kewajiban
merupakan sesuatu yang absolut, sehingga terkadang secara moral, kita dapat melanggar
hukum, namun tidak ada pakar hukum, yang secara terbuka atau terang-terangan
melanggar hukum. Kita memiliki alasan moral yang kuat untuk melakukan apa yang
diperintahkan oleh hukum, seperti, tidak melakukan penghinaan, penipuan, atau
mencuri dari orang lain. Kita harus mentaati hukum, jika telah ada aturan hukum
yang disertai dengan ancaman hukuman. Mereka yang yakin akan hukum, harus
melakukan dengan bantuan pemerintah, dan mereka yakin, akan mendapat dukungan
dai warga masyarakat.
sumber : http://errymeta.wordpress.com/artikel/artiklel-umum/membangun-kesadaran-hukum-dan-ketaatan-hukum/
No comments:
Post a Comment